Senin, 04 Juni 2012


HUKUM ACARA PIDANA
MAKALAH MENGENAI SIDANG PERKARA PIDANA
No. 03/Pid. B/2012/PN.BDG

Dosen :
H. Agus Takariawan S.H, M.H dan I. Tajudin, S.H, M.H



Disusun oleh:

Mega Meirina
110110100270






FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2012






BAB I
PENDAHULUAN

Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana.

Tindak pidana adalah suatu kejahatan yang semuanya itu telah diatur dalam undang-undang dan begitu pula KUHP, sedangkan mengenai proses acara nya sendiri diatur dalam UU no. 8 tahun 1981 atau yang biasa disebut dengan KUHAP. tindak pidana yang dibahas dalam makalah ini adalah tindak pidana terhadap tubuh yang bisa disebut juga sebagai penganiayaan. Banyak beberapa model dan macam penganiayaan telah dilakukan dikalangan masyarakat sehingga dapat menimbulkan kematian. dalam KUHP itu sendiri telah menjelaskan dan mengatur tentang macam-macam dari penganiayaan beserta akibat hukum apabila melakukan pelanggaran tersebut, pasal yang menjelaskan tentang masalah penganiayaan ini sebagian besar adalah pasal 351 sampai dengan pasal 355, dan masih banyak pula pasal-pasal lain yang berhubungan dengan pasal tersebut yang menjelaskan tetang penganiayaan. Disini akan menjelaskan, membahas dan menganalisis kasus persidangan pidana no. 03/Pid. B/PN. BDG dan juga mengenai pengertian dari penganiayaan yang menyangkut kasus persidangan tersebut.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

Isi Hukum Acara Pidana menurut S.M Amin mengenai cara-cara:

1.      Mencari kebenaran
2.      Memperoleh keputusan Hakim
3.      Mewujudkan (melaksanakan) keputusan hakim

Acara Persidangan Pidana
Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri proses persidangannya adalah sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara. Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai. Di Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.
Surat dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari kejaksaan terhadap terdakwa dibaca oleh jaksa. Pada saat itu terdakwa didudukkan di bagian tengah ruang persidangan berhadapan dengan hakim. Kedua belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan Penasehat Hukum (pengacara pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah dakwaan dibaca, barulah mulai tahap pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari posisinya di tengah ruangan dan duduk di sebelah penasehat hukumnya, jika memang dia mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah yang menduduki kursi penasehat hukum itu.
Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi dan berapa saksi yang akan dipanggil dalam sidang hari itu. Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil, mereka bertiga dipanggil oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan hakim; kursi yang sama tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian hakim akan menyampaikan beberapa pertanyaan kepada saksi masing masing. Yaitu adalah; nama, tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan dengan si terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian kata-kata berikut:
“Demi Tuhan saya bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al-Qu’ran atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya. Menarik juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.
Di Negara RI peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang mulai dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan. Setelah hakim selesai dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk memeriksa saksi, disusul oleh penasehat hukum.
Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing masing, si terdakwa akan diberikan kesempatan untuk menanggapi keterangan tersebut. Dalam perkara yang ditonton oleh penulis, Hakim akan menyimpulkan keterangan yang telah di dapat, kemudian terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan tanggapannya terhadap keterangan tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk turun dari kursinya dan duduk di bagian umum di belakang.
Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan telah memberikan keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan untuk memanggil saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan proses yang sama sebagaimana digambarkan di atas. Setelah semua saksi memberikan keterangan, tahap pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari jaksa mengenai sanksi yang dimintai dari hakim. “Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir.”
Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus mengambil keputusan. Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para hakim ada tiga alternatif:
1. Perkara terbukti – terdakwa dihukum
2. Perkara tidak terbukti – terdakwa dibebaskan
3. Perbuatan terbukti tetapi tidak perbuatan pidana – terdakwa dilepas dari segala tuntutan (Onslag).
Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara negatif, keputusan para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Lima kategori alat bukti tersebut adalah:
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa
Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus menentukan soal sanksinya, berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya sendiri terhadap terdakwa. Tergantung pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
“Hakim harus menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian, perbuatannya mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukannya untuk berfoya-foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau begitu, dapat dia ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan, menjadi delapan bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi tuntutan dari jaksa…semuanya tergantung perbedaan persepsi.”
Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis besar sehingga terdakwa dibuktikan bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia terbukti bersalah, apalagi dijatuhkan hukuman penjara maka ia akan dibawa ke Lembaga Permasyarakatan untuk menjalani hukumannya.



Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain.[1] Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211), sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut:

a. Adanya kesengajaan 
b. Adanya perbuatan
c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni:

1. rasa sakit pada tubuh
2. luka pada tubuh

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif.

A. Kejahatan terhadap tubuh (Penganiayaan)

Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, pasal 351 s/d 356.

Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, pasal 351s/d 355 adalah sebagai beriku: 
1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP 
2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP
3. Panganiayaan berencana pasal 353 KUHP
4. penganiayaan berat pasal 354 KUHP
5. penganiayaan berat pasal 355 KUHP

Penganiayaan biasa tercantum di dalam pasal 351 KUHP
pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut : 
1.      Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2.      Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3.      Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4.      Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan 
5.      Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana. 

Kembali lagi dari arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan.

Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya. Seperti contoh: seorang guru yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya.
 
Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya. 

Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu bukan sebuah penganiayaan, karena telah melampaui batas-batas aturan tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang dinamakan dengan “penganiayaan biasa”. Yang bersalah pada perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya si korban. Mengenai tentang luka berat lihat pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu. 



Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi: 
1. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian
2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
3. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian
4. penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan. 

2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP

Disebut penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam pasal 352 KUHP sebagai berikut:
1. Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

2. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 

Melihat pasal 352 ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

3. Penganiyaan berencarna pasal 353 KUHP

Pasal 353 mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :

1. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun
3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 


Menurut Mr.M.H. Tirtamidjaja Menyatakan arti di rencanakan lebih dahulu adalah : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”.  Apabila kita fahami tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alas an pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (340). Pekataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berfikir dengan bating yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.
 
Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah diatur dala pasal 353 apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alas an pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP). 


4. Penganiayaan berat pasal 354 KUHP

Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
·         Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
·         Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. 
·         Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alas an diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. 


Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana. 

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat.

Mengenai luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada pasal 90 KUHP sebagai berikut:

Luka berat berarti :
·         Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.
·         Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian.
Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra.
·         Mendapat cacat besar.
·         Lumpuh (kelumpuhan).
·         Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu.
·         Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. 

Pada pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat. 










BAB III
DATA KASUS/ LAPORAN PERSIDANGAN

·         Identitas perkara

No. Perkara                             : 03/Pid/B/2012/PN.BDG
Tanggal sidang                        : 22 Februari 2012
Status perkara                         : putusan
Nama Hakim                           :
1.      Hakim Ketua: Marulak Purba, S.H, M.H
2.      Hakim Anggota I: Sucipto, S.H, M.H
3.      Hakim Anggota II: Eris Sudjarwanto, S.H, M.H
Jaksa Penuntut Umum                        : Darwis Burhansyah, S.H
Panitera Pengganti                  : Nok Rohayati, S.H
Saksi-saksi                               :
1.      Budi Hadiyanto
2.      Isah Aisah
3.      H. Sodikin
Alat bukti (184 KUHAP)       : Surat VISUM ET REPERTUM

·         Identitas Terdakwa

Nama Lengkap            : Taufik Hidayat bin Iling Suharling
Tempat Lahir               : Bandung
Umur/Tanggal Lahir    : 34 Tahun/ 06 Oktober 1977
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Kebangsaan                 : Indonesia
Tempat tinggal            : Kp. Lio Mekarsari Rt.07/01 Kel. Kujang Sari Kec. Bandung Kidul Kota Bandung
Agama                         : Islam
Pekerjaan                     : Sopir
Pendidikan                  : SMA

·         Terdakwa ditahan oleh:

Penyidik sejak tanggal 25 Oktober 2011 s/d februari 2012 (RUTAN)

·         Dakwaan Kesatu:

Bahwa ia terdakwa TAUFIK HIDAYAT bin ILING SUHARLING pada hari Jum’at tanggal 21 Oktober 2011 sekitar pukul 23.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu yang masih termasuk dalam bulan Oktober tahun 2011 bertempat di Jl. Terusan Ciwastra no.114 Rancasawo RT. 04/RW.06 Kel. Mekarjaya Kec. Rancasari Kota Bandung atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung, telah melakukan Penganiayaan terhadap saksi korban BUDI HADIYANTO, perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
ü  Bahwa pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, awalnya terdakwa sedang berada dirumah majikan terdakwa dengan maksud menyerahkan uang setoran angkot, kemudian terdakwa menelepon saksi ISAH AISAH yang merupakan mantan pacar terdakwa dimana saat itu saksi ISAH AISAH sedang berada dirumahnya bersama saksi korban BUDI HADIYANTO dan saksi SONYA PUTRI yang letaknya berdekatan dengan rumah majikan terdakwa, selanjutnya karena telepon dari terdakwa tidak juga diangkat oleh saksi ISAH AISAH kemudian terdakwa menunggu didepan rumah saksi ISAH AISAH sambil memecahkan sebuah botol dengan maksud agar saksi ISAH AISAH dan saksi BUDI HADIYANTO keluar dari dalam rumah
ü  Bahwa selanjutnya saksi korban BUDI HADIYANTO mendengar suara pecahan botol tersebut dan keluar dari dalam rumah dengan maksud untuk melihat apa yang terjadi diluar, kemudian pada saat berpapasan dengan terdakwa. Terdakwa langsung memukul bagian muka saksi korban BUDI HADIYANTO sebanyak 3 (tiga) kali dengan menggunakan kepalan tangan kanan sampai terjatuh,dan pada saat saksi korban BUDI HADIYANTO terjatuh, terdakwa langsung menendang bagian kepala saksi korban BUDI HADIYANTO dengan menggunakan kaki sebelah kanan, selanjutnya datang saksi  ISAH AISAH bersama saksi H. SODIKIN dan langsung melerai dan mengusir terdakwa
ü  Bahwa akibat perbuatan terdakwa saksi korban BUDI HADIYANTO mengalami luka pada bagian kepala dan bagian bibir berdasarkan VISUM ET REPERTUM NOMOR: 5843/RSAI/VISUM/2011 tanggal 22 Oktober 2011 An. BUDI HADIYANTO,Ir  dibuat oleh dr.Akhmad Imron, SpBs pada Rumah Sakit AL-ISLAM Bandung dengan hasil pemeriksaan ditemukan tanda-tanda benturan benda tumpul di kepala yang menyebabkan lecet pada puncak kepala, luka lecet di bibir bagian bawah kiri, bekuan darah di selaput tebal otak.
ü  Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP
Atau
·         Dakwaan Kedua :   
Bahwa ia terdakwa TAUFIK HIDAYAT bin ILING SUHARLING pada hari Jum’at tanggal 21 Oktober 2011 sekitar pukul 23.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu yang masih termasuk dalam bulan Oktober tahun 2011 bertempat di Jl. Terusan Ciwastra no.114 Rancasawo RT. 04/RW.06 Kel. Mekarjaya Kec. Rancasari Kota Bandung atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung, secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakukan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain terhadap saksi korban BUDI HADIYANTO, perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
ü  Bahwa pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, awalnya terdakwa sedang berada dirumah majikan terdakwa dengan maksud menyerahkan uang setoran angkot, kemudian terdakwa menelepon saksi ISAH AISAH yang merupakan mantan pacar terdakwa dimana saat itu saksi ISAH AISAH sedang berada dirumahnya bersama saksi korban BUDI HADIYANTO dan saksi SONYA PUTRI yang letaknya berdekatan dengan rumah majikan terdakwa, selanjutnya karena telepon dari terdakwa tidak juga diangkat oleh saksi ISAH AISAH kemudian terdakwa menunggu didepan rumah saksi ISAH AISAH sambil memecahkan sebuah botol dengan maksud agar saksi ISAH AISAH dan saksi BUDI HADIYANTO keluar dari dalam rumah
ü  Bahwa selanjutnya saksi korban BUDI HADIYANTO mendengar suara pecahan botol tersebut dan keluar dari dalam rumah dengan maksud untuk melihat apa yang terjadi diluar, kemudian pada saat berpapasan dengan terdakwa. Terdakwa langsung memukul bagian muka saksi korban BUDI HADIYANTO sebanyak 3 (tiga) kali dengan menggunakan kepalan tangan kanan sampai terjatuh,dan pada saat saksi korban BUDI HADIYANTO terjatuh, terdakwa langsung menendang bagian kepala saksi korban BUDI HADIYANTO dengan menggunakan kaki sebelah kanan, selanjutnya datang saksi  ISAH AISAH bersama saksi H. SODIKIN dan langsung melerai dan mengusir terdakwa
ü  Bahwa akibat perbuatan terdakwa saksi korban BUDI HADIYANTO mengalami luka pada bagian kepala dan bagian bibir berdasarkan VISUM ET REPERTUM NOMOR: 5843/RSAI/VISUM/2011 tanggal 22 Oktober 2011 An. BUDI HADIYANTO,Ir  dibuat oleh dr.Akhmad Imron, SpBs pada Rumah Sakit AL-ISLAM Bandung dengan hasil pemeriksaan ditemukan tanda-tanda benturan benda tumpul di kepala yang menyebabkan lecet pada puncak kepala, luka lecet di bibir bagian bawah kiri, bekuan darah di selaput tebal otak.
ü  Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 335 ayat (1) Ke-1  KUHP

·         Keputusan Majelis Hakim

1.      Menyatakan terdakwa Taufik Hidayat bin Iling Suharling Identitasnya seperti tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana penganiayaan
2.      Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama : 1 tahun
3.      Menetapkan bahwa masa penahanan terdakwa dikurangi seluruhnya dari Pidana yang dijatuhkan
4.      Menetapkan supaya terdakwa tetap ditahan
5.      Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).

·         Analisis

Pasal 351 ayat (1) KUHP:
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Menurut dakwaan JPU terdakwa melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP. Bahwa unsur-unsur yang essensial yang harus dibuktikan pada dakwaan tersebut adalah :
1.      Barang siapa
2.      Melakukan penganiayaan
Masing-masing unsur tersebut perlu dipertimbangkan satu persatu apakah dapat memenuhi perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.

Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti sebagaimana terurai dalam pemeriksaan perkara tersebut diatas, maka seluruh unsur yang ada dalam dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi, sehingga terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum yang kualifikasinya disebutkan dalam amar putusan ini.

Bahwa karena terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan perbuatan pidana sedangkan bagi terdakwa tidak terdapat adanya alasan pemaaf ataupun pembenar, maka terdakwa haruslah dinyatakan bersalah dan dihukum setimpal dengan kesalahannya.

Bahwa mengenai barang bukti tidak ada

Karena terdakwa pernah ditahan dalam perkara ini, maka lamanya terdakwa dalam tahanan dikurangkan dengan pidana yang dijatuhkannya.

Karena terdakwa sekarang berada dalam tahanan, maka dalam amar putusan perkara ini dinyatakan terdakwa tetap dalam ditahan.

Karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka terdakwa dibebani untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.

Bahwa dalam menentukan pidana terhadap diri terdakwa dipertimbangkan hal-hal :
·         Yang memberatkan
Perbuatan terdakwa menyakiti orang lain
·         Yang meringankan
1.      Terdakwa belum pernah dihukum
2.      Terdakwa mengakui secara terus terang perbuatannya serta menyesali


BAB IV
KESIMPULAN

Secara garis besar, proses peradilan di Republik Indonesia yan pertama adalah Lembaga Penyidikan (Kepolisian) yang bertanggungjawab mendeteksi dan menyelidiki kejahatan, kemudian ada Lembaga Penuntutan (Jaksa) yang bertanggungjawab atas memeriksa berkas-berkas yang diajukan dari Lembaga Penyidikan sebelum perkaranya dapat dilimpahkan ke pengadilan. Lembaga Pengadilan/Hakim yang bertanggungjawab memutuskan bersalah tidaknya seorang terdakwa.


Penganiayaan adalah “Dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” 
Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II: 
Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP 
Penganiayaan biasa bisa menimbulkan luka berat pasal 90 dan menyebabkan kamatian dan ini diancam hukuman lebih berat
unsur-unsur yang essensial yang harus dibuktikan pada dakwaan perkara tersebut adalah :
1.      Barang siapa
2.      Melakukan penganiayaan

DAFTAR PUSTAKA


Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Iandonesia (Bandung; Eresco, 1989)
Leden Marpaung Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Jakarta; Sinar Grafika,2002)
Moeljatno, Aszs-Asas Hukum Pidana (Jakarta; Renika Cipta,2002)
R.Roesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Umum Dan Delik-Delik Khusus (Bandung: Karya Nusantara, 1984)
Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Jakarta; Fasco, 1995), 42
…………..Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa ( )
R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya (Surabaya; Usaha Nasional, 1981)
Andi Hamzah, Asas-asas hukum pidana (Jakarta: PT. Renika Cipta, 1994)
http://www.google.co.id


[1] satochid kartanegara, hal. 509