Review skin care werisa
Hai guys.. setelah lama vakum nulis2 blog lagi karena rutinitas kerjaan setumpuk dan ditambah lembur2 (curhat)
Aku mau review nih pengalaman aku nyobain skin care nya werisa clinic salah satu klinik skin care hits di bandung, aku biasa Konsul di werisa Pungkur (yg sekarang cabang nya pindah ke kebon kelapa) dan order online di werisa buah batu juga.
Aku direkomendasikan untuk ke klinik werisa oleh salah satu teman di kantor yg juga pernah Konsul ke werisa, karena aku ada problem kulit kering dan kusam dan pori2 besar. Lalu aku pergi deh ke klinik werisa Pungkur disana aku konsultasi dengan dokter dan diberikan sepaket krim beserta facial wash dll nya. Alhamdulillah harga paket nya tidak terlalu mahal cocok di kantong (haha.. dasar emak2 irit) dan hasilnya juga memuaskan cocok di kulit aku..jadinya skrg aku percayakan perawatan kulit wajah ku sama werisa. Untuk hasilnya memang tidak langsung keliatan namun baru keliatan setelah beberapa Minggu dari awal pemakaian dan harus sabar juga telaten. Dan selama ini jika aku lupa pakai krim2 nya atau facial wash nya atau lupa purchase produk juga tidak ada masalah yg timbul di kulit muka aku selama ini artinya produk ini murni aman sist ! Dan yang terpenting harga produk dan perawatan nya mursidah sis.. dan disana kalau kita sudah jadi member  di werisa kita dapet free Konsul dengan dokter kulitnya sis pada saat beli produk nya..
Ini hanya review murni dari aku yg sudah pernah Konsul di klinik werisa ya, tidak ada unsur iklan sama sekali ya sista..
Kamis, 07 Maret 2019
Kamis, 14 Mei 2015
Contoh Usulan Penelitian - Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN
SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A.  
Latar
Belakang
Perkawinan
mengakibatkan timbulnya ikatan lahir batin antara dua orang berlainan jenis
yang telah terikat dan ingin mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan
kekal. Oleh karena itu, bagi suami dan istri harus menjalankan hak dan
kewajibannya masing-masing secara seimbang agar tujuan perkawinan yang
dicita-citakan dapat tercapai.
Perkawinan
yang sah akan mengakibatkan bukan hanya ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita, tetapi juga menimbulkan harta benda suami dan istri dalam perkawinan.
Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh suami dan istri selama
perkawinan berlangsung, dengan tidak mempermasalahkan pihak mana yang
menghasilkannya (baik suami ata istri saja, ataupun suami dan istri secara
bersama-sama), maka harta tersebut menjadi milik bersama antara suami dan
istri. Oleh karena itu, mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak
bersama-sama atau hanya salah satu pihak yang bertindak, tetapi atas
persetujuan pihak lainnya. 
Dalam
rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga, suami atau istri bekerja untuk mencari
nafkah. Namun, saat ini, tidak sedikit pasangan suami istri yang melakukan
wirausaha. Salah satu kendala terbesar dalam berwirausaha adalah persoalan
modal untuk membiayai kegiatan usaha. Agar kebutuhan akan modal usaha tersebut
dapat terpenuhi, suami atau istri dapat mengajukan pinjaman kepada pihak lain,
baik lembaga perbankan maupun perorangan. Orang yang memperoleh pinjaman
disebut sebagai Debitor, sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut
sebagai Kreditor. 
Pada
hakikatnya, pemberian pinjaman (kredit) oleh kreditor kepada debitor dilakukan
karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman tersebut
tepat pada waktunya. Selain kepercayaan dari kreditor, hal yang paling
diutamakan adalah pemberian jaminan (agunan) oleh debitor kepada kreditor,
sehingga ada kepastian bahwa debitor akan membayar utangnya atau mengembalikan
pinjamannya tepat waktu. 
Adanya
jaminan, bukan berarti utang-utang yang dibuat debitor akan selalu dibayar
tepat waktu kepada kreditor, ada kalanya karena suatu alasan tertentu misalnya
disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit, keadaan terpaksa ataupun karena
kelalaian debitor sendiri, utang-utang tersebut menjadi tidak terbayarkan tepat
waktu. Dengan adanya jaminan, maka hak dari kreditor menjadi terlindungi karena
kreditor dapat mengeksekusi barang yang dijaminkan tersebut sebagai pembayaran
atas utang-utang yang dibuat oleh debitor.
Ada
kalanya, ketika berutang, debitor tidak menjaminkan apapun kepada kreditor.
Walaupun demikian, undang-undang tetap akan melindungi kepentingan kreditor,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi sebagai berikut:
“Segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.”
Selain
harta kekayaan debitor yang menjadi jaminan bagi utang-utangnya, dalam Pasal
1132 KUH Perdata pun disebutkan bahwa kebendaaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan
benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.
Pada
praktiknya, ada kemungkinan bahwa seorang debitor yang terikat perkawinan yang
sah mempunyai utang kepada lebih dari satu kreditor. Dengan demikian, pada saat
debitor lalai untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor-kreditor tersebut,
maka segala harta kekayaannya akan dijual untuk pelunasan utang-utangnya
tersebut. Tetapi, pada saat dilakukan pembagian hasil penjualan harta debitor,
seringkali terjadi pertentangan antara para kreditor untuk medapatkan pelunasan
atas piutangnya.
Untuk
mencegah pertentangan antara para kreditor tersebut, biasanya debitor atau
kreditor lebih memilih menyelesaikan permasalahan tersebut melalui lembaga
kepailitan. Lembaga kepailitan akan mengadakan suatu penyitaan umum terhadap
seluruh harta kekayaaan debitor, yang selanjutnya akan dibagi secara adil
kepada para kreditor di bawah pengawasan petugas yang berwenang untuk itu.[1]
Salah
satu permasalahan yang sering terjadi adalah perjanjian pinjam meminjam uang
yang dilakukan oleh debitor yang terikat perkawinan yang sah adalah perjanjian
pinjam meminjam uang yang dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuan
pasangannya masing-masing. Apabila salah satu pihak yang berutang tersebut,
misalnya dipailitkan, maka pihak lainnya tidak bersedia turut bertanggung jawab
dengan alasan tidak mengetahui atau tidak menyetujui perjanjian pinjam meminjam
uang yang dilakukan pasangannya. Padahal secara langsung maupun tidak langsung,
pasangan yang tidak terlibat perjanjian utang piutang tersebut ikut menikmati
hasil dari perjanjian. Menurut ketentuan Peraturan Kepailitan, apabila salah
satu pihak yang terikat perkawinan yang sah dinyatakan pailit, maka pasangannya
pun secara yuridis akan ikut pailit dan harta bersama mereka akan disita untuk
dijadikan pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh salah satu pihak
tersebut.    
Oleh
sebab itu, penulis tertarik untuk merumuskan masalah dalam penulisan hukum yang
berjudul: ”KAJIAN HUKUM MENGENAI
KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM
BOEDEL PAILIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG”
B.  
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi permasalahan
sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah
kajian hukum mengenai kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya
harta bersama ke dalam boedel pailit dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2.    Apakah
pihak istri atau suami dapat menolak dimasukkannya harta bersama ke dalam
boedel pailit oleh Kurator terkait dengan utang yang dibuat suami atau istrinya
selama perkawinan sehingga menimbulkan kepailitan?
C.  
Tujuan
Penelitian
Tujuan
dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu :
1.    Untuk
mengetahui dan memahami kajian hukum mengenai kepailitan suami atau istri yang
menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.
2.    Untuk
menentukan tindakan hukum yang dapat dilakukan
oleh suami atau istri dalam menyelesaikan masalah kepailitan yang dihadapi.
D.  
Kegunaan
Penelitian
Melalui
penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu antara lain :
1.   
Kegunaan
teoritis 
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan ilmu hukum, terutama hukum perkawinan dan hukum kepailitan. Selain
itu, penulisan ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan literatur baru bagi
penulisan-penulisan karya ilmiah berikutnya.
2.   
Kegunaan
praktis
Diharapkan dapat bermanfaat
bagi para pihak terutama debitor dalam suatu perjanjian utang piutang yang
terikat dalam suatu perkawinan yang sah.
Selain itu,
diharapkan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas yang ingin mengenal dan
memahami berbagai aspek mengenai kebijakan pemberesan kepailitan yang
melibatkan harta bersama dalam perkawinan. 
Kemudian, diharapkan
dengan penulisan ini dapat menjadi masukan-masukan yang sangat berarti bagi
para calon kurator yang berwenang dalam melakukan pemberesan kepailitan.
E.  
Kerangka
Pemikiran
Dalam hal  seorang debitor mempunyai banyak kreditor dan
harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka
masing-masing kreditor akan berupaya untuk mendapatkan pelunasan utangnya
terlebih dahulu. Untuk mengatur tata cara pembayaran piutang para kreditor,
dibentuklah suatu lembaga kepailitan.
Lembaga kepailitan
merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 1131 jo. 1132 KUH
Perdata mengenai prinsip “paritas
creditorium” dan prinsip ”pari passu
prorate parte” yang merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari debitor
terhadap para kreditornya. 
Prinsip “paritas creditorium” (kesetaraan
kedudukan para kreditor) menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama
terhadap semua harta benda debitor. 
Prinsip “paritas creditorium” mengandung makna
bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang
tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan
barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada
penyelesaian kewajiban debitor.
Filosofi dari prinsip
“paritas creditorium” adalah bahwa
merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda sementara utang
debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan
umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap
utang-utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak berkenaan langsung dengan
utang-utangnya. 
Namun demikian,
prinsip “paritas creditorium” jika
diterapkan secara letterlijk akan
menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan prinsip “paritas creditorium” adalah menyamaratakan kedudukan para kreditor,
tanpa mempertimbangkan besar kecilnya piutang tiap-tiap kreditor atau
membedakan kreditor yang memegang jaminan dengan kreditor yang tidak mendapat
jaminan. Oleh karena itu, prinsip “paritas
creditorium” harus dibarengi dengan prinsip ”pari passu prorate parte”.
Prinsip ”pari passu prorate parte” berarti bahwa
harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama bagi para kreditor dan hasilnya
harus dibagikan secara proporsional, kecuali jika menurut undang-undang, di
antara para kreditor ada yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran
piutangnya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi
utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih adil dengan cara yang sesuai
dengan proporsinya.  [2]
Menurut Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(UUKPKPU), definisi kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Untuk dapat
dinyatakan pailit, debitor harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa “debitor yang mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih kreditornya”. 
Menurut Pasal 1 angka
1 UUKPKPU, yang dimaksud dengan Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
Pasal 1 angka 3 UUKPKPU memberikan definisi Debitor, yaitu orang yang mempunyai
utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di
muka pengadilan. 
Utang yang dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, definisinya dicantumkan di dalam Pasal 1 angka
6 UUKPKPU, yaitu:
“kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi
member hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor.
Akibat yuridis jika
debitor dipailitkan diatur dalam Bab II Bagian Kedua UUKPKPU. Akibat-akibat
kepailitan yang menyangkut dengan harta debitor antara lain yaitu sebagai
berikut:
a.    Akibat
kepailitan terhadap harta kekayaan. Pasal 21 UUKPKPU menyebutkan bahwa
kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitor dan bukan meliputi diri
debitor.
b.    Akibat
hukum terhadap tuntutan atas harta pailit. Dengan adanya putusan pernyataan
pailit, mereka yang selama berlangsungnya kepailitan melakukan tuntutan untuk
memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap
debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
Ketentuan Pasal 27 UUKPKPU mengandung arti bahwa mereka yang merasa sebagai kreditor
apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit, harus
mendaftarkan piutangnya itu untuk dicocokkan dalam verifikasi. Hal itu kembali
menegaskan bahwa setelah putusan pernyataan pailit segala tuntutan berkaitan
dengan harta pailit harus didaftarkan kepada curator.
c.    Akibat
kepailitan terhadap harta warisan
Kemungkinan selama
kepailitan, Debitor memperoleh warisan. Mengenai hal terseut, Pasal 40 UUKPKPU
mengaturnya dan menyebutkan bahwa warisan yang jatuh kepada debitor selama
kepailitan, oleh Kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila harta warisan
tersebut menguntungkan harta pailit. Untuk tidak menerima warisan yang
dimaksud, Kurator memerlukan izin hakim pengawas.
Adanya putusan
pernyataan pailit mengakibatkan Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusan pailit diucapkan, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 24
UUKPKPU.
Konsekuensi dari
perkawinan yang sah adalah terbentuknya harta benda perkawinan sebagai kekayaan
untuk membiayai kebutuhan hidup dalam rumah tangga.
Soerjono Soekanto
membagi harta benda perkawinan ke dalam 4 unsur yaitu:[3] 
a.    Harta
kekayaan yang diperoleh dari suami atau istri, yang merupakan warisan atau
hibah/ pemberian dari kerabat yang dibawa ke dalam keluarga;
b.    Harta
kekayaan yang diperoleh dari usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan
selama perkawinan;
c.    Harta
kekayaan yang diperoleh dari hadiah kepada suami-istri pada waktu perkawinan;
d.    Harta
kekayaan yang diperoleh dari usaha suami istri dalam masa perkawinan.
Menurut Hilman
Hadikusuma, harta perkawinan dikelompokkan menjadi:[4]
a.    Harta
bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam ikatan
perkawinan, baik yang berupa hasil jerih payah masing-masing atau yang berasal
dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka
berlangsung;
b.    Harta
pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil karya suami/istri selam
ikatan perkawinan berlangsung;
c.    Harta
peninggalan;
d.    Harta
pemberian seperti hadiah, hibah, dan lain-lain.
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan diatur dalam
Pasal 35 jo. 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 
Pasal 35 UUP berbunyi sebagai berikut:
1)    Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2)    Harta
bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya, Pasal 36 UUP berbunyi sebagai berikut:
1)    Mengenai
harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah
pihak.
2)    Mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, harta dalam perkawinan
terdiri atas harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda
yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karenanya menjadi
milik bersama suami istri. Terhadap harta bersama, suami atau istri hanya dapat
bertindak jika ada persetujuan bersama, sedangkan harta bawaan adalah harta
yang diperoleh masing-masing suami atau istri dan berhak untuk melakukan apa
saja terhadap harta bawaan tersebut tanpa harus ada persetujuan dari pasangannya.[5]
Menurut ketentuan UUP, harta benda perkawinan sebenarnya
secara otomatis terbagi antara harta bersama dan harta bawaan. Akan tetapi,
tidak tertutup kemungkinan bagi suami dan istri yang ingin membuat perjanjian
perkawinan mengenai pemisahan atau pengurusan harta. Selain mengenai pemisahan
atau pengurusan harta, hal lainnya pun dapat diperjanjikan sepanjang tidak
bertentangan dengan batasan hukum, agama, dan kesusilaan, sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 UUP yang berbunyi sebagai berikut:
1)    Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga terlibat.
2)    Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan.
3)    Perjanjian
tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4)    Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
UUP menempatkan suami dan istri dalam kewajiban memikul
tanggung jawab dalam rumah tangga secara sejajar, artinya baik suami maupun
istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menegakkan rumah tangganya
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUP. Hak dan kedudukan suami istri adalah
seimbang dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
Oleh karena kesetaraan kedudukan suami dan istri di dalam
UUP tersebut, maka lahirlah tanggung jawab dari suami atau istri itu sendiri
ketika salah satu dari mereka melakukan perbuatan hukum. Pada prinsipnya,
prinsip tanggung jawab itu dibedakan dalam:
a.    Tanggung
Jawab Intern
Tanggung
jawab intern adalah pembagian beban tanggungan dalam hubungan antara suami dan
istri sendiri. Hal ini tidak diatur secara tegas dalam UUP. Namun, dalam Pasal
36 ayat (2) UUP telah disebutkan bahwa harta pribadi yang berwujud harta bawaan
dan harta hibahan serta harta warisan adalah milik suami atau istri yang bersangkutan
dan atas harta tersebut masing-masing suami atau istri mempunyai wewenang
sepenuhnya. Atas dasar tersebut, dapat dikemukakan bahwa menurut UUP, asas
tanggung jawab intern adalah masing-masing suami atau istri bertanggung jawab
sendiri atas utang-utang pribadinya. 
b.    Tanggung
Jawab Ekstern
Pada prinsipnya, masing-masing suami atau istri
menanggung hutang pribadinya masing-masing, baik hutang pribadi sebelum maupun
sepanjang perkawinan dengan harta pribadinya. Harta bersama adalah milik
bersama suami dan istri. Isinya adalah hasil usaha maupun hasil harta benda
mereka, baik bersama maupun masing-masing. Mereka jugalah yang mengikatkan
harta bersama kepada pihak ketiga. Atas dasar itu, adillah kiranya, kalau baik
suami maupun istri bertanggung jawab atas utang bersama yang dibuat olehnya
dengan harta bersama.[6]
Dalam konsepsi UUP, setiap perkawinan pasti menyebabkan
adanya harta bersama. Harta bersama ini bukan lahir dari perjanjian kawin,
tetapi lahir karena undang-undang. Oleh karena itu, jika ingin mengajukan
permohonan pailit terhadap debitor yang terikat dalam perkawinan yang sah,
harus diperhatikan apakah perkawinan tersebut tunduk pada UUP atau KUH Perdata.
Hal ini penting, untuk mengetahui apakah ada harta bersama atau tidak serta
siapa-siapa saja yang harus dimohonkan pailit. Dengan adanya harta bersama,
kepailitan suami atau istri dapat menyebabkan pailit terhadap pasangannya. Hal
ini sesuai dengan Pasal 23 UUKPKPU yaitu debitor pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang
menikah dalam persatuan harta. [7]
F.   
Metode
Penelitian
1. Metode Pendekatan 
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif, yaitu
metode penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, di samping juga menelaah
kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat.[8]
Dengan kata lain, secara spesifik metode pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statue
approach) yaitu dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang
bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani.[9]
2. Spesifikasi Penelitian 
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yaitu
menganalisa obyek penelitian dengan memaparkan situasi dan keadaan, dengan cara
pemaparan data yang diperoleh sebagaimana adanya, yang kemudian dianalisis yang
menghasilkan beberapa kesimpulan.
3. Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan beberapa tahap
penelitian, yaitu:
a.    Penelitian
Kepustakaan (Library Research)
Dalam penelitian ini, digunakan penelitian kepustakaan
yang bersifat mengikat pada masalah-masalah yang diteliti, yang terdiri dari:
1)    Bahan
hukum primer, yaitu terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan antara
lain:
a)    Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
b)    Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c)    Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
d)    Peraturan
perundang-undangan yang lainnya.
2)    Bahan-bahan
hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer,
antara lain:
a)    Hasil
karya ilmiah para sarjana;
b)    Hasil-hasil
penelitian
3)    Bahan-bahan
hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder, antara lain berupa artikel di koran dan majalah serta
situs internet
b.    Penelitian
Lapangan (Field Research)
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data primer
sebagai penunjang data sekunder sebagai upaya memperoleh informasi lebih jelas
mengenai masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.
4.    Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara
Studi Kepustakaan. Dilakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan landasan
teoretis, beberapa pendapat-pendapat atau hasil tulisan-tulisan para ahli atau
pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk mendapatkan informasi baik dalam
bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi.
5.    Metode
Analisis Data 
Data yang telah terkumpul dianalisis secara yuridis
kualitatif yang bertitik tolak dari norma-norma, asas-asas dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif.
1.    Lokasi
Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di beberapa lokasi untuk
memperoleh data yang diperlukan, antara lain:
a.    Penelitian
Kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Universitas Padjadjaran (CISRAL), Jalan
Dipati Ukur Nomor 46, Bandung;
b.    Penelitian
Kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur Nomor 35, Bandung;
G.  
Sistematika
Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan
dan memperoleh gambaran secara keseluruhan mengenai penelitian ini, maka
sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dalam
penyajiannya.
BAB I             PENDAHULUAN
Pada Bab ini Penulis memberikan informasi yang bersifat
umum dan menyeluruh yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II            TINJAUAN UMUM MENGENAI UTANG SUAMI
ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN KEPAILITAN DAN PEMBERESAN KEPAILITAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG
Pada Bab ini Penulis memberikan gambaran umum mengenai perkawinan
di Indonesia, perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama, kepailitan yang
terjadi pada suami atau istri, serta pengurusan dan pemberesan kepailitan.
BAB III           KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG
MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT
            Pada Bab ini penulis  membahas mengenai tinjauan umum tentang
kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam
boedel pailit.
BAB IV           KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN
SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
            Pada bab ini Penulis memberikan analisis dan membahas identifikasi masalah
yang Penulis angkat dalam skripsi ini. Berdasarkan identifikasi masalah
tersebut maka pada Bab  ini
membahas mengenai utang
suami atau istri yang mengakibatkan kepailitan dan masuknya harta bersama ke
dalam boedel pailit. 
BAB V            KESIMPULAN DAN SARAN
Bab
ini merupakan bab terakhir dari seluruh uraian yang ada, berisikan tentang
beberapa simpulan dari hasil analisa Penulis terhadap permasalahan yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya dan kemudian Penulis memberikan saran yang berkaitan
dengan jawaban dari permasalahan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia
menurut Perundangan: Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung,
2003.
Isis
Ikhwansyah,dkk., Hukum Kepailitan
(Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan),
Keni Media, Bandung, 2012.
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010.
J. Satrio,
Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada
Media Group,Jakarta, 2005.
Ronny
Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian
Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1990.
Soejono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Zainal
Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Utang di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
[1] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada,  Jakarta, 2002, hlm. 26
[2] Isis
Ikhwansyah,dkk., Hukum Kepailitan
(Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan),
Keni Media, Bandung, 2012,  hlm.  19
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut
Perundangan: Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.
123-124
[8]  Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:  Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 10.
Rabu, 13 Mei 2015
PENERAPAN MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERKAIT PEMECAHAN PROBLEM PLURALITAS BANGSA INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
PENERAPAN
MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
TERKAIT PEMECAHAN PROBLEM PLURALITAS BANGSA INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM
NASIONAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu
penilaian mata kuliah Teori Hukum Pembangunan
Oleh:
Mega Meirina
110110100270
Dosen:
Maret Priyanta, S.H.,
M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.   
LATAR
BELAKANG
Indonesia adalah negara yang
becorak multi etnik, agama, ras dan golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika
secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang
sampai Merauke selain memiliki sumber daya alam (natural recsources)
juga mempunyai sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka
ragam coraknya (I Nyoman Nurjaya, 2007).[1]
Keragaman
etnik yang ada di Indonesia sudah tentu mengandung dimensi multibudaya
(multikultural). Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki
kelompok-kelompok etnik yang berbeda dalam kebudayaan, bahasa, nilai, adat
istiadat dan tata kelakuan yang diakui sebagai jalan positif untuk menciptakan
toleransi dalam sebuah komunitas. Masyarakat yang terdiri dari berbagai suku
bangsa atau masyarakat yang berbhineka juga didefinisikan sebagai masyarakat majemuk,
masyarakat plural atau pluralistik.[2]
Paradigma
pluralisme pada awalnya digunakan untuk melakukan counter terhadap
teori-teori tradisional mengenai kedaulatan negara. Hal ini karena teori-teori
tradisional tersebut tidak atau kurang memertimbangkan adanya bermacam-macam
hak, kepentingan dan perkembangan dari aneka warna kelompok atau golongan di
dalam negara (Soerjono Soekanto, 2010).[3]
Pembangunan
hukum, sebagaimana aspek pembangunan di bidang lainnya, sudah seharusnya mempertimbangkan
aspek multikultural yang ada dalam suatu komunitas negara. Pembangunan hukum
yang mengabaikan fakta kemajemukan masyarakat (political of legal plurality
ignorance) dapat menjadi pemicu terjadinya konflik nilai dan norma dalam
masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Benard L. Tanya (2010) membuktikan bahwa
hukum positif/hukum nasional bahkan menjadi beban bagi sebagian masyarakat
lokal. Hal ini terjadi karena meskipun fakta kehidupan yang menunjukkan keragaman
hukum (legal plurality), namun pembangunan hukum di Indonesia masih
dominan pada sistem hukum nasional dan kurang memberi perhatian pada sistem
hukum adat, hukum agama dan juga mekanisme-mekanisme regulasi sendiri (self
regulation) yang ada dalam komunitas masyarakat di daerah (I Nyoman
Nurjaya, 2007).[4]
Negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya
sangat membutuhkan pembinaan dan pengembangan sistem hukum nasional dalam
rangka mendorong dan mendukung pembangunan di segala bidang. Meminjam istilah
Roscoe Pound bahwa “as tool as social engineering”, maka sesungguhnya
pembinaan dan pengembangan hukum nasional sudah semestinya dapat memberikan
arah dan jalan bagi hukum, masyarakat dan negara untuk saling terkait satu
dengan yang lainnya. Tentunya hal itu dapat terwujud jika semangat dalam
pembinaan dan pengembangan hukum nasional itu dilandasi dengan semangat dan
nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat dengan tidak mengenyampingkan juga
nilai-nilai yang berkembang lainnya yang sesuai dengan kultur masyarakat
Indonesia.[5]
B.    
IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian
dalam latar belakang di atas, penulis mengidentifikasikan permasalahan sebagai
berikut:
Bagaimanakah penerapan dan pengaruh
Mazhab Sociological Jurisprudence
dalam mengakomodasi pemecahan problem pluralitas bangsa Indonesia dalam
pembangunan hukum nasional?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.   
TINJAUAN
MENGENAI MAZHAB SOCIOLOGICAL
JURISPRUDENCE
Pendasar
mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin
Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti pemikiran mazhab ini yang
berkembang di Amerika :[6]
“Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat”.
Sesuai disini berarti bahwa hukum
itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.[7]
Mazhab ini hendaknya dibedakan
dengan apa yang kita kenal dengan sosiologi hukum. Yang terakhir sebagaimana
telah diuraikan secara singkat pada bagian terdahulu merupakan cabang sosiologi
yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial. Sosiologi hukum tumbuh dan
berkembang di Eropa Kontinental. Sebagaimana dijelaskan oleh Roscoe Pound dalam
kata pengantar pada buku Gurvitch yang berjudul “Sosiologi Hukum” (sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) perbedaan di antara keduanya ialah
bahwa kalau sociological jurispudence
itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh
timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya sedang sosiologi hukum
adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan
sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi
hukum tersebut disamping juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap
masyarakat. Yang terpenting adalah bahwa kalau sociological jurisprudence cara
pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi hukum sebaliknya
dari masyarakat ke hukum.[8]
Mazhab ini mengetengahkan tentang
pentingnya Living Law-hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan
suatu sinthese dari thesenya, yaitu Positivisme hukum dan antithesenya Mazhab
sejarah. Dengan demikian, sociological
jurisprudence berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun
pengalaman. Pandangan ini berasal dari Roscoe Pound yang intisarinya antara
lain : Kedua konsepsi masing-masing aliran (maksudnya positivisme hukum dan
mazhab sejarah) ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian
akal dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah
pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh
pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman.
Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum
adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan
wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang dalam masyarakat yang
berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.[9] 
Jadi, dengan kata lain janganlah
diulangi lagi kesalahan yang dianut para ahli filsafat hukum abad ke-18 yang
hanya memahamkan hukum sebagai perumusan akal semata-mata dan sarjana-sarjana
hukum mazhab sejarah beranggapan bahwa hukum hanyalah merupakan perumusan
pengalaman.[10]
       Selain
itu menurut Sulistyowati
Irianto,
Sociological jurisprudence adalah
salah satu aliran dalam teori hukum yang digagas oleh Roscoe Pound, dan
berkembang di Amerika  mulai  tahun 1930-an. Mengutip Soetandyo
Wignjosoebroto (2002: 8-16), istilah “sociological” mengacu kepada pemikiran
realisme dalam ilmu hukum (Holmes), yang meyakini bahwa  meskipun hukum adalah sesuatu yang dihasilkan
melalui proses yang dapat dipertangungjawabkan secara logika imperatif, namun  the life
of law has not been logic, it is (socio-psychological) experience.  Hakim yang bekerja haruslah  proaktif membuat putusan untuk menyelesaikan
perkara dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial. Dengan demikian
putusan hakim selalu dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dari pemikiran
inilah lahir doktrin baru dalam sociological jurisprudence tentang law is a tool of social engineering.[11]
B.    
ETNISITAS
DAN PLURALITAS BANGSA
      Pluralisme kultural merupakan ciri khas
masyarakat kontemporer dimana etnisitas tidak akan berakhir meskipun
modernisasi telah menggema dimana-mana. Identifikasi etnik seharusnya tetap dipertimbangkan
sebagai respon yang  normal dan sehat
atas tekanan-tekanan ruang pasar yang mengglobal.[12]   
       Membangun masyarakat yang demokratis bagi
Indonesia merupakan suatu tugas yang tidak ringan. Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat pluralis dan multikultural. Indonesia terkenal dengan pluralitas
suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara. Di dalam penelitian etnologis
misalnya, diketahui bahwa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa
dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain
dari kehidupan suku-suku tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu,
terjadi pula konsentrasi suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena
mobilisasi penduduk yang cepat. Melalui sensus 2000 tercatat 101 suku bangsa di
Indonesia dengan jumlah total penduduk 201.092.238 jiwa sebagai warga Negara
(Suryadinata cs, 2003: 102). Kepulauan nusantara merupakan ajang pertemuan dari
agama-agama besar di dunia. Penyebaran agama-agama besar tersebut tidak
terlepas dari letak geografis kepulauan nusantara di dalam perdagangan dunia
sejak abad permulaan. Tidak mengherankan apabila pengaruh-pengaruh penyebaran
agama Hindu, Budha, Islam, Katolik, Kristen, serta agama-agama lainnya terdapat
di Kepulauan Nusantara. Setiap sub etnis di Indonesia mempunyai kebudayaan
sendiri. Kebudayaan berjenis-jenis etnis tersebut bukan hanya diperlihara dan
berkembang di dalam teritori di mana terjadi konsentrasi etnis tersebut tetapi
juga telah menyebar di seluruh Nusantara.[13]
          Perubahan sosial di era reformasi telah melahirkan politik hukum
yang mempertegas diri bahwa ada kemauan politik menuju ke arah negara maju yang
bercirikan otonomi. Dengan diberlakukannya otonomi daerah segera memunculkan serangkaian
kebangkitan daerah, etnik, politik dan hukum. Menguatnya kesadaran akan peran
nilai-nilai lokal dalam menopang pembangunan yang berkelanjutan membawa dampak
dalam proses pembangunan hukum nasional. Hukum adat dan kearifan lokal sudah
semestinya dijadikan komponen dan sendi dari pembangunan hukum nasional.[14]
C.   
PEMBANGUNAN
HUKUM NASIONAL
Upaya
menampakkan jati diri bangsa Indonesia dalam bidang hukum belum berhasil sesuai
dengan harapan dan cita-cita pembangunan hukum nasional Indonesia. Yaitu
mempunyai hukum nasional yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia
sebagaimana terekam dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945. Meskipun demikian, sudah ada usaha yang dilakukan oleh bangsa Indonesia
dalam rangka menuju cita-cita tersebut, yaitu adanya program Pembinaan Hukum
Nasional. Menurut Qodri Azizy, tidak adanya hukum nasional merupakan
salah satu problematika pembangunan hukum di Indonesia, dan pada hakekatnya
problematika itu telah mulai ada sejak awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia.[15]
Unifikasi
hukum dan pembentukan hukum melalui perundang-undangan dalam proses pembangunan
memerlukan skala prioritas. Dalam rangka memperhatikan skala prioritas yang
demikian, maka bidang-bidang hukum yang berhubungan dengan kepentingan publik
dan sosial dan bidang-bidang hukum yang langsung menunjang kemajuan ekonomi dan
pembangunan, perlu diprioritaskan dalam pembentukannya. Sedangkan bidang-bidang
hukum yang erat hubungannya dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual, dan
kehidupan budaya bangsa memerlukan penggarapan yang saksama dan tidak
tergesa-gesa .[16]
Menyadari
pentingnya kodifikasi dalam rangka pembinaan hukum nasional khususnya dan
pembangunan nasional umumnya, dengan mengingat kebutuhan yang mendesak, maka
usaha ke arah kodifikasi dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian lapangan
hukum tertentu secara bertahap, baik dengan undang-undang maupun dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Pengambilan/pengoperan hukum asing
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut
dapat memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional.[17]
Pembangunan
di bidang hukum harus berdasar atas landasan cita-cita yang terkandung pada
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana
kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang ditemukan dalam Pancasila dan
UUD 1945. Menurut Satjipto Rahardjo,
hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti bahwa kehadirannya adalah
untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakatnya. Dengan demikian, hukum tidak merupakan institusi tekhnik yang
kosong moral dan steril terhadap moral.[18]
Pembangunan
materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi
kepada kepentingan nasional dengan penyusunan awal materi hukum secara
menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya penyusunan produk hukum baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung
tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu
disusun program legislasi nasional yang terpadu sesuai dengan prioritas, termasuk
upaya penggantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial dengan peraturan
perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan
hukum diselenggarakan melalui proses secara terpadu dan demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta menghasilkan produk hukum hingga
tingkat peraturan pelaksanaannya. Dalam pembentukan hukum perlu diindahkan
ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan
kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku
di masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Produk hukum kolonial harus diganti dengan
produk hukum yang dijiwai dan bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.[19]
Pembangunan
aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur yang memiliki kemampuan
untuk mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan nasional serta ditujukan
kepada pemantapan kemampuan profesional aparatnya. Pembangunan aparatur hukum
dilaksanakan melalui pembinaan profesi hukum serta pemantapan semua organisasi
dan lembaga hukum agar aparatur hukum mampu melaksanakan tugas kewajibannya
yang mencakup penyuluhan, penerapan, dan penegakan serta pelayanan hukum secara
profesional dalam rangka pemantapan fungsi dan peranan hukum sebagai sarana
pengatur dan pengayom masyarakat. Kualitas dan kemampuan aparat hukum harus
dikembangkan melalui peningkatan kualitas manusianya, baik tingkat kemampuan
profesionalnya maupun kesejahteraannya, serta didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai.[20]
Penerapan
hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan lugas tetapi manusiawi
berdasarkan asas keadilan dan kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan
kepastian hukum, meningkatkan tertib sosial dan disiplin nasional, mendukung
pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan damai.[21]
Menurut
Satjipto Rahardjo, usaha untuk
membangun hukum Indonesia, maka pikiran, gagasan dan visi keilmuan dari para
akademisi adalah penting. Melakukan pembangunan hukum bukan hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan
seperti legislasi, yudikasi dan penegakan hukum, melainkan juga berfikir
tentang hukum itu sendiri. Kontribusi pikiran ini adalah dalam memberikan visi
dan pencerahan terhadap aksi-aksi yang dilakukan secara konkrit.[22]
Dengan
adanya arah pembangunan hukum nasional pada kodifikasi dan unifikasi hukum,
berarti akan mengarah pada pembentukan undang-undang. Idealnya tentu mampu
mengubah segala jenis undang-undang produk Kolonial Belanda untuk diganti
dengan undang-undang produk bangsa kita sendiri. Namun, kenyataannya hanya baru
mampu membuat undang-undang yang sifatnya ad hoc, sebagai upaya tambal
sulam. Sudah barang tentu, dengan selalu tidak pernah dilepaskan rumusan bahwa
pembangunan hukum nasional akan tetap menghargai hukum tidak tertulis dan nilai-nilai
yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, akan memberi arti meskipun pembangunan
hukum kita mengarah pada kodifikasi dan unifikasi, namun peran hakim tetap
besar, penting dan menentukan.[23]
Arah
pembangunan jangka panjang di bidang hukum sebagaimana yang tertuang dalam
Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dinyatakan bahwa pembangunan hukum
dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan
kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya
untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan
hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang
berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan
negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.[24]
Bentuk
hukum yang perlu disusun dan diperbarui tidak saja berupa Undang- Undang tetapi
juga Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan di
lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara dan badan-badan khusus dan independen
lainnya seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia, Komisi
Pemilihan Umum, dan sebagainya. Demikian pula di daerah-daerah, pembaruan dan
pembentukan hukum juga dilakukan dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati dan Peraturan Walikota. Untuk menampung kebutuhan di tingkat lokal,
termasuk mengakomodasikan perkembangan norma-norma hukum adat yang hidup dalam
masyarakat pedesaan, dapat pula dibentuk Peraturan Desa. Di samping itu,
nomenklatur dan bentuk sistem hukumnya juga perlu dibenahi, misalnya, perlu
dibedakan dengan jelas antara peraturan (regels) yang dapat dijadikan
objek judicial review dengan penetapan administratif berupa
keputusan (beschikking) yang dapat dijadikan objek peradilan tata usaha
negara, dan putusan hakim (vonis) dan fatwa (legal opinion).[25]
BAB III
KASUS 
A.   
KASUS
I [26]
Contoh kasus terjadi pada masyarakat
Desa Bejijong Kabupaten Mojokerto yang melakukan integrasi nilai lokal ke dalam
hukum nasional dalam bentuk peraturan desa. Masyarakat Desa Bejijong, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur yang merupakan komunitas perajin
tradisional cor kuningan yang telah menjalankan aktivitas karya sejak puluhan lalu.
Selama ini mereka hanya menggunakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self
regulation) untuk menjaga keteraturan sosial dalam praktek berkerajinan
sehari-hari. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perajin Desa Bejijong kemudian
merasa khawatir atas hasil karya-karyanya yang dijual ke pasaran tanpa
perlindungan hukum.
Kekhawatiran tersebut kemudian mendorong
masyarakat Desa Bejijong melakukan proses sosial berupa integrasi antara
nilai-nilai lokal yang telah mereka praktikkan dengan formalisme hukum nasional
yang sedang berjalan. Dengan inisiatif beberapa elemen pemerintah desa, mereka
menerbitkan ‘Undang-Undang Perlindungan Hak Cipta Pengrajin Patung Desa
Bejijong Nomor 6 Tahun 2004’ yang substansinya berasal dari konsensus bersama
komunitas perajin Desa Bejijong. Peraturan tersebut dibuat antara lain untuk
menjamin dan menumbuhkan kreativitas para perajin di Desa Bejijong. Perajin yang
kedapatan menjiplak karya perajin lain akan didenda sebesar Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah).
Masyarakat Desa Bejijong mendapat
inspirasi dari asas dan norma hukum Hak Cipta yang ada pada Undang-Undang Nomor
19 tahun 2002 tentang Hak Cipta; Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang
Desain Industri atau Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Merek, yang
merupakan rezim HKI yang dapat digunakan untuk melindungi karya-karya mereka.
Aturan tersebut dibuat secara otodidak, bersama-sama seluruh elemen masyarakat desa
dan kemudian hasilnya ditetapkan menjadi Peraturan Desa Bejijong. Sampai saat
ini aturan  tersebut masih ada dan
berhasil difungsionalisasikan secara efektif oleh masyarakat setempat.
B.    
KASUS
II[27]
Keppres
Nomor 6 Tahun 2000 yang berisi pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang
(pelarangan) agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina, dirayakan oleh
masyarakat Tionghoa dan Konghucu dengan gaya berbeda, tetapi tetap dalam satu
rasa euphoria. 
Poin
ketiga dari Keppres itu memang menarik bahasanya “…Dengan ini penyelenggaraan
kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina tanpa memerlukan izin
khusus sebagaimana berlangsung selama ini…” Tidak heran bila masyarakat
Konghucu bangga karena tanggal 31 Maret 2000 muncul Surat Mendagri (Surjadi
Soedirdja) Nomor 477/805/Sj yang ditujukan ke Gubernur dan Bupati/Walikota
seluruh Indonesia, untuk mencabut Inpres. Ditambah menyatakan SE Mendagri No.
477/74054 tanggal 18 November 1978 (petunjuk pengisian kolom “agama”) pada
lampiran SK Mendagri Nomor 221a/1975, tidak berlaku lagi. Kolom agama pada
lampiran itu (pencatatan perkawinan dan perceraian pada KCS) agar berpedoman
pada Instruksi Menag Nomor 4/1978. 
Pembelaan
muncul dari Anly Cenggana bahwa barongsay konghucu itu ritus dan bukan seni
tari biasa. Terkait tidak jelasnya tradisi dan agama ini bertambah runyam
karena etnis Cina di Indonesia mengalami keterputusan alih generasi penguasaan
bahasa China-kitab, sementara banyak orang cina tempo dulu yang sudah meninggal
tanpa sempat mewariskan ilmunya lagi. 
Terbitnya
keppres ini ternyata membawa perseteruan baru yang terjadi secara lintas agama,
tetapi satu etnis.  
BAB IV
PEMBAHASAN
A.   
PEMBAHASAN
MENGENAI PENERAPAN MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
TERKAIT PEMECAHAN PROBLEM PLURALITAS BANGSA INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM
NASIONAL
Dilihat
dari teori/ Mazhab Sociological
Jurisprudence , maka untuk kasus yang telah di bahas sebelumnya dapat dijelaskan
secara singkat sebagai berikut:
Hukum
yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau
yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Di Indonesia sendiri yang paling
menonjol adalah perundang-undangan.[28]
Agar
dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat
berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu
sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran Sociological Jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai
dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat . jadi, mencerminkan nilai-nilai
yang hidup di masyarakat. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan
tersebut akan tidak dapat dilaksanakan (bekerja) dan akan mendapat
tantangan-tantangan.[29] 
Beberapa
contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti
mengubah sikap mental masyarakat tradisional ke arah modern, misalnya yang
terjadi dalam kasus pertama dan kedua tadi. Dalam kasus pertama, disini dengan
terbitnya Undang-Undang mengenai hak cipta telah mengubah pola pikir dalam
masyarakat  Desa Bejijong Kabupaten
Mojokerto terkait perlindungan hukum hak cipta kerajinan patung yang mereka
buat. Mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self regulation) yang
diterapkan masyarakat Desa Bejijong Kabupaten Mojokerto untuk menjaga keteraturan
sosial dalam praktek berkerajinan sehari-hari merupakan suatu integrasi nilai
lokal ke dalam hukum nasional tersebut telah tepat. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, perajin Desa Bejijong kemudian merasa khawatir atas hasil
karya-karyanya yang dijual ke pasaran tanpa perlindungan hukum. Oleh karena itu
penerapan Mazhab Sociological
Jurisprudence terkait pembuatan peraturan perundang-undangan telah berhasil
dalam kasus ini, karena kesadaran hukum masyarakat ini timbul setelah adanya sosialisasi
Undang-Undang HKI tentang Hak Cipta. Yaitu untuk mengubah sikap tradisional ke
modern yang sadar akan hukum.
Untuk
kasus kedua, disini peranan Mazhab Sociological
Jurisprudence yaitu dalam menerapkan hukum yang baik disesuaikan dengan
kondisi yang ada didalam masyarakatnya. Di Indonesia yang terkenal sebagai
negara yang plural/ memiliki kemajemukan budayanya, salah satunya budaya/
kepercayaan Konghucu maka disini dengan hadirnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000
yang membolehkan adanya kepercayaan konghucu maka peraturan tersebut harus
mengakomodasi keinginan dari pemeluk kepercayaan konghucu tersebut. Namun,
permasalahan yang muncul aturan tersebut belum memenuhi seluruhnya keinginan
dari penganut kepercayaan konghucu. Oleh karena itu peranan dari mazhab ini
perlu diterapkan karena jika tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat penganut kepercayaan konghucu, maka akibatnya ketentuan aturan
tersebut tidak akan berjalan dengan efektif dan akan mendapat
tantangan-tantangan. 
Keppres
Nomor 6 Tahun 2000 dan SE Mendagri yang mengikutinya masih dianggap kurang oleh
beberapa masyarakat Konghucu, yaitu tidak dicantumkannya nama agama mereka pada
kolom agama di beberapa daerah (kasus Anly Cenggana di Surabaya) padahal di
Jakarta bisa dilakukan (kasus Chandra Setiawan). Kolom agama dalam KTP itu
sebaiknya dihilangkan saja, seperti penghilangan kolom “perkawinan” dalam KTP
Surabaya (yang bisa disalahgunakan untuk over-poligami).[30] 
Agar
peranan dan fungsi dari Mazhab Sociological
Jurisprudence dapat terealisasi dalam kasus ini, Keppres Nomor 6 Tahun 2000
harus dilengkapi dengan kritik atas rasisme dengan mendorong terciptanya
Undang-Undang Anti Diskriminasi. Tanpa undang-undang ini maka basis massa
Konghucu tidak akan bisa keluar dari keluh kesah.[31]  
       Dengan menguatnya peran dan kapasitas
kearifan lokal dalam masyarakat serta kebiasaan-kebiasaan yang timbul, sistem
hukum nasional juga harus bersiap memberikan ruang untuk menghadapi situasi
yang disebut oleh Holleman sebagai hybrid law atau unnamed law. Hybrid
law atau unnamed law adalah situasi dimana tumbuh bentuk hukum-hukum
baru yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat atau hukum
agama. Pada perkembangannya saat ini dapat dilihat di beberapa daerah di
Indonesia telah banyak upaya melembagakan hukum adat ”baru” dengan format hukum
negara, yaitu menjadi peraturan daerah atau peraturan desa mengikuti struktur
formal dan logika hukum negara.[32] 
       Menurut Otje Salman, sistem hukum  agar dapat berfungsi lebih baik, maka ada
empat hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu masalah legitimasi,
interpretasi, sanksi, dan yuridiksi. Salah satunya mengenai permasalahan
legitimasi yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-aturan.[33]
Oleh karenanya kedua kasus tersebut dapat menjadi pelajaran pembuat aturan agar
aturan tersebut dapat diterima oleh masyarakatnya. 
BAB
V
PENUTUP
A.   
KESIMPULAN
      Terkait dengan permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa
peranan Mazhab Sociological Jurisprudence
 Dilihat dari contoh kasus diatas, maka penting
nya penerapan Mazhab Sociological Jurisprudence dalam hal pembuatan peraturan
perundang-undangan karena undang-undang atau aturan yang dibuat harus
berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakatnya. Karena jika tidak
dibuat berdasarkan hal tersebut aturan yang dibuat itu akan mendapat
tantangan-tantangan seperti yang terdapat dalam kasus II. Pemerintah masih
belum serius mengangkat tema kebijakan yang berfokus pada problem dan konflik
etnik yang sampai saat ini belum mampu memberikan kontibusi bagi
pengakomodasian masyarakat yang berbeda beda latarbelakang etnisnya.
      Selain itu, peranan Mazhab Sociological
Jurisprudence dalam pembangunan hukum nasional. Dalam artian peraturan
perundang-undangan dibuat sebagai sarana pembaharuan masyarakat seperti yang
terdapat dalam contoh kasus I, disini aturan dapat mengubah sikap mental
masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang sadar akan pentingnya hukum
sehingga hal itu dapat memecahkan problem masyarakat plural yang ada di
Indonesia. 
B.    
SARAN
     Pemerintah harus dapat mengakomodasi kehendak masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya sehingga pemikiran
dari Mazhab Sociological Jurisprudence yang
tercermin dalam aturan perundang-undangan dapat terealisasi sepenuhnya. 
DAFTAR PUSTAKA
A.   
BUKU-BUKU
Anom Surya Putra. Teori Hukum Kritis, Struktur Ilmu dan Riset
Teks. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2003
Lili Rasjidi. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 2004.
Otje Salman. Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung:
PT Refika Aditama. 2005
B.    
LAIN-LAIN
(Jurnal, Disertasi, website, dll)
Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam terhadap Pembangunan Nasional, Disertasi,
Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 2008.
Hendra
Wahanu Prabandani, PEMBANGUNAN HUKUM BERBASIS
   KEARIFAN LOKAL, Jurnal Biro Hukum
Bappenas, E D I S I 0 1 / TA H         U N
X V I I / 2 0 1 1
Sulistyowati
Irianto, Memperkenalkan
Studi Sosiolegal dan Implikasi         Metodologisnya,
http://bphn.go.id,
2014.
Oksep Adhayanto, Jurnal : Rekonstruksi
Nilai-Nilai Masyarakat Lokal dalam         Semangat
Otonomi Daerah Menuju Penguatan Sistem Hukum Nasional,             Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja
Ali Haji,           2014. 
[1]
Hendra Wahanu Prabandani, Pembangunan Hukum
Berbasis Kearifan Lokal, Jurnal Biro Hukum Bappenas, Edisi 01/ Tahun XVII/2011,
hlm. 29.
[2] Ibid, 
[4] Ibid, hlm. 30
[5] Oksep Adhayanto, Jurnal : Rekonstruksi
Nilai-Nilai Masyarakat Lokal dalam Semangat Otonomi Daerah Menuju Penguatan
Sistem Hukum Nasional, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji,2014.  hlm. 268
[6] Lili Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan teori hukum, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Hlm. 66
[7] Ibid
[8] ibid
[9] Ibid, hlm. 67
[10] ibid
                [11]
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan
Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, http://bphn.go.id,
hlm. 4-5, diunduh tanggal 21 Mei 2014 pukul 08.48 WIB.
                [13]. Farida Hanum, Jurnal: Pendidikan
Multikultural dalam Pluralisme Bangsa, http://eprints.uny.ac.id , hlm. 2, diunduh tanggal 21 Mei
2014 jam 09.48 WIB.
[15] Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam terhadap Pembangunan
Nasional, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 2008.
hlm. 106
[16] ibid
[17] Ibid, hlm. 107
[18]
ibid
[19] ibid
[20] Ibid, hlm. 108.
[21] ibid
[22] Ibid, hlm. 109.
[23] ibid
[24] ibid
[25] Ibid, hlm. 114-115.
[26] Oksep Adhayanto, op.cit, hlm. 269
Langganan:
Komentar (Atom)
