KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN
SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A.  
Latar
Belakang
Perkawinan
mengakibatkan timbulnya ikatan lahir batin antara dua orang berlainan jenis
yang telah terikat dan ingin mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan
kekal. Oleh karena itu, bagi suami dan istri harus menjalankan hak dan
kewajibannya masing-masing secara seimbang agar tujuan perkawinan yang
dicita-citakan dapat tercapai.
Perkawinan
yang sah akan mengakibatkan bukan hanya ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita, tetapi juga menimbulkan harta benda suami dan istri dalam perkawinan.
Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh suami dan istri selama
perkawinan berlangsung, dengan tidak mempermasalahkan pihak mana yang
menghasilkannya (baik suami ata istri saja, ataupun suami dan istri secara
bersama-sama), maka harta tersebut menjadi milik bersama antara suami dan
istri. Oleh karena itu, mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak
bersama-sama atau hanya salah satu pihak yang bertindak, tetapi atas
persetujuan pihak lainnya. 
Dalam
rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga, suami atau istri bekerja untuk mencari
nafkah. Namun, saat ini, tidak sedikit pasangan suami istri yang melakukan
wirausaha. Salah satu kendala terbesar dalam berwirausaha adalah persoalan
modal untuk membiayai kegiatan usaha. Agar kebutuhan akan modal usaha tersebut
dapat terpenuhi, suami atau istri dapat mengajukan pinjaman kepada pihak lain,
baik lembaga perbankan maupun perorangan. Orang yang memperoleh pinjaman
disebut sebagai Debitor, sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut
sebagai Kreditor. 
Pada
hakikatnya, pemberian pinjaman (kredit) oleh kreditor kepada debitor dilakukan
karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman tersebut
tepat pada waktunya. Selain kepercayaan dari kreditor, hal yang paling
diutamakan adalah pemberian jaminan (agunan) oleh debitor kepada kreditor,
sehingga ada kepastian bahwa debitor akan membayar utangnya atau mengembalikan
pinjamannya tepat waktu. 
Adanya
jaminan, bukan berarti utang-utang yang dibuat debitor akan selalu dibayar
tepat waktu kepada kreditor, ada kalanya karena suatu alasan tertentu misalnya
disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit, keadaan terpaksa ataupun karena
kelalaian debitor sendiri, utang-utang tersebut menjadi tidak terbayarkan tepat
waktu. Dengan adanya jaminan, maka hak dari kreditor menjadi terlindungi karena
kreditor dapat mengeksekusi barang yang dijaminkan tersebut sebagai pembayaran
atas utang-utang yang dibuat oleh debitor.
Ada
kalanya, ketika berutang, debitor tidak menjaminkan apapun kepada kreditor.
Walaupun demikian, undang-undang tetap akan melindungi kepentingan kreditor,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi sebagai berikut:
“Segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.”
Selain
harta kekayaan debitor yang menjadi jaminan bagi utang-utangnya, dalam Pasal
1132 KUH Perdata pun disebutkan bahwa kebendaaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan
benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.
Pada
praktiknya, ada kemungkinan bahwa seorang debitor yang terikat perkawinan yang
sah mempunyai utang kepada lebih dari satu kreditor. Dengan demikian, pada saat
debitor lalai untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor-kreditor tersebut,
maka segala harta kekayaannya akan dijual untuk pelunasan utang-utangnya
tersebut. Tetapi, pada saat dilakukan pembagian hasil penjualan harta debitor,
seringkali terjadi pertentangan antara para kreditor untuk medapatkan pelunasan
atas piutangnya.
Untuk
mencegah pertentangan antara para kreditor tersebut, biasanya debitor atau
kreditor lebih memilih menyelesaikan permasalahan tersebut melalui lembaga
kepailitan. Lembaga kepailitan akan mengadakan suatu penyitaan umum terhadap
seluruh harta kekayaaan debitor, yang selanjutnya akan dibagi secara adil
kepada para kreditor di bawah pengawasan petugas yang berwenang untuk itu.[1]
Salah
satu permasalahan yang sering terjadi adalah perjanjian pinjam meminjam uang
yang dilakukan oleh debitor yang terikat perkawinan yang sah adalah perjanjian
pinjam meminjam uang yang dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuan
pasangannya masing-masing. Apabila salah satu pihak yang berutang tersebut,
misalnya dipailitkan, maka pihak lainnya tidak bersedia turut bertanggung jawab
dengan alasan tidak mengetahui atau tidak menyetujui perjanjian pinjam meminjam
uang yang dilakukan pasangannya. Padahal secara langsung maupun tidak langsung,
pasangan yang tidak terlibat perjanjian utang piutang tersebut ikut menikmati
hasil dari perjanjian. Menurut ketentuan Peraturan Kepailitan, apabila salah
satu pihak yang terikat perkawinan yang sah dinyatakan pailit, maka pasangannya
pun secara yuridis akan ikut pailit dan harta bersama mereka akan disita untuk
dijadikan pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh salah satu pihak
tersebut.    
Oleh
sebab itu, penulis tertarik untuk merumuskan masalah dalam penulisan hukum yang
berjudul: ”KAJIAN HUKUM MENGENAI
KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM
BOEDEL PAILIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG”
B.  
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi permasalahan
sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah
kajian hukum mengenai kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya
harta bersama ke dalam boedel pailit dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2.    Apakah
pihak istri atau suami dapat menolak dimasukkannya harta bersama ke dalam
boedel pailit oleh Kurator terkait dengan utang yang dibuat suami atau istrinya
selama perkawinan sehingga menimbulkan kepailitan?
C.  
Tujuan
Penelitian
Tujuan
dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu :
1.    Untuk
mengetahui dan memahami kajian hukum mengenai kepailitan suami atau istri yang
menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.
2.    Untuk
menentukan tindakan hukum yang dapat dilakukan
oleh suami atau istri dalam menyelesaikan masalah kepailitan yang dihadapi.
D.  
Kegunaan
Penelitian
Melalui
penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu antara lain :
1.   
Kegunaan
teoritis 
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan ilmu hukum, terutama hukum perkawinan dan hukum kepailitan. Selain
itu, penulisan ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan literatur baru bagi
penulisan-penulisan karya ilmiah berikutnya.
2.   
Kegunaan
praktis
Diharapkan dapat bermanfaat
bagi para pihak terutama debitor dalam suatu perjanjian utang piutang yang
terikat dalam suatu perkawinan yang sah.
Selain itu,
diharapkan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas yang ingin mengenal dan
memahami berbagai aspek mengenai kebijakan pemberesan kepailitan yang
melibatkan harta bersama dalam perkawinan. 
Kemudian, diharapkan
dengan penulisan ini dapat menjadi masukan-masukan yang sangat berarti bagi
para calon kurator yang berwenang dalam melakukan pemberesan kepailitan.
E.  
Kerangka
Pemikiran
Dalam hal  seorang debitor mempunyai banyak kreditor dan
harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka
masing-masing kreditor akan berupaya untuk mendapatkan pelunasan utangnya
terlebih dahulu. Untuk mengatur tata cara pembayaran piutang para kreditor,
dibentuklah suatu lembaga kepailitan.
Lembaga kepailitan
merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 1131 jo. 1132 KUH
Perdata mengenai prinsip “paritas
creditorium” dan prinsip ”pari passu
prorate parte” yang merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari debitor
terhadap para kreditornya. 
Prinsip “paritas creditorium” (kesetaraan
kedudukan para kreditor) menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama
terhadap semua harta benda debitor. 
Prinsip “paritas creditorium” mengandung makna
bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang
tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan
barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada
penyelesaian kewajiban debitor.
Filosofi dari prinsip
“paritas creditorium” adalah bahwa
merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda sementara utang
debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan
umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap
utang-utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak berkenaan langsung dengan
utang-utangnya. 
Namun demikian,
prinsip “paritas creditorium” jika
diterapkan secara letterlijk akan
menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan prinsip “paritas creditorium” adalah menyamaratakan kedudukan para kreditor,
tanpa mempertimbangkan besar kecilnya piutang tiap-tiap kreditor atau
membedakan kreditor yang memegang jaminan dengan kreditor yang tidak mendapat
jaminan. Oleh karena itu, prinsip “paritas
creditorium” harus dibarengi dengan prinsip ”pari passu prorate parte”.
Prinsip ”pari passu prorate parte” berarti bahwa
harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama bagi para kreditor dan hasilnya
harus dibagikan secara proporsional, kecuali jika menurut undang-undang, di
antara para kreditor ada yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran
piutangnya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi
utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih adil dengan cara yang sesuai
dengan proporsinya.  [2]
Menurut Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(UUKPKPU), definisi kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Untuk dapat
dinyatakan pailit, debitor harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa “debitor yang mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih kreditornya”. 
Menurut Pasal 1 angka
1 UUKPKPU, yang dimaksud dengan Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
Pasal 1 angka 3 UUKPKPU memberikan definisi Debitor, yaitu orang yang mempunyai
utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di
muka pengadilan. 
Utang yang dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, definisinya dicantumkan di dalam Pasal 1 angka
6 UUKPKPU, yaitu:
“kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi
member hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor.
Akibat yuridis jika
debitor dipailitkan diatur dalam Bab II Bagian Kedua UUKPKPU. Akibat-akibat
kepailitan yang menyangkut dengan harta debitor antara lain yaitu sebagai
berikut:
a.    Akibat
kepailitan terhadap harta kekayaan. Pasal 21 UUKPKPU menyebutkan bahwa
kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitor dan bukan meliputi diri
debitor.
b.    Akibat
hukum terhadap tuntutan atas harta pailit. Dengan adanya putusan pernyataan
pailit, mereka yang selama berlangsungnya kepailitan melakukan tuntutan untuk
memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap
debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
Ketentuan Pasal 27 UUKPKPU mengandung arti bahwa mereka yang merasa sebagai kreditor
apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit, harus
mendaftarkan piutangnya itu untuk dicocokkan dalam verifikasi. Hal itu kembali
menegaskan bahwa setelah putusan pernyataan pailit segala tuntutan berkaitan
dengan harta pailit harus didaftarkan kepada curator.
c.    Akibat
kepailitan terhadap harta warisan
Kemungkinan selama
kepailitan, Debitor memperoleh warisan. Mengenai hal terseut, Pasal 40 UUKPKPU
mengaturnya dan menyebutkan bahwa warisan yang jatuh kepada debitor selama
kepailitan, oleh Kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila harta warisan
tersebut menguntungkan harta pailit. Untuk tidak menerima warisan yang
dimaksud, Kurator memerlukan izin hakim pengawas.
Adanya putusan
pernyataan pailit mengakibatkan Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusan pailit diucapkan, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 24
UUKPKPU.
Konsekuensi dari
perkawinan yang sah adalah terbentuknya harta benda perkawinan sebagai kekayaan
untuk membiayai kebutuhan hidup dalam rumah tangga.
Soerjono Soekanto
membagi harta benda perkawinan ke dalam 4 unsur yaitu:[3] 
a.    Harta
kekayaan yang diperoleh dari suami atau istri, yang merupakan warisan atau
hibah/ pemberian dari kerabat yang dibawa ke dalam keluarga;
b.    Harta
kekayaan yang diperoleh dari usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan
selama perkawinan;
c.    Harta
kekayaan yang diperoleh dari hadiah kepada suami-istri pada waktu perkawinan;
d.    Harta
kekayaan yang diperoleh dari usaha suami istri dalam masa perkawinan.
Menurut Hilman
Hadikusuma, harta perkawinan dikelompokkan menjadi:[4]
a.    Harta
bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam ikatan
perkawinan, baik yang berupa hasil jerih payah masing-masing atau yang berasal
dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka
berlangsung;
b.    Harta
pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil karya suami/istri selam
ikatan perkawinan berlangsung;
c.    Harta
peninggalan;
d.    Harta
pemberian seperti hadiah, hibah, dan lain-lain.
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan diatur dalam
Pasal 35 jo. 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 
Pasal 35 UUP berbunyi sebagai berikut:
1)    Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2)    Harta
bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya, Pasal 36 UUP berbunyi sebagai berikut:
1)    Mengenai
harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah
pihak.
2)    Mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, harta dalam perkawinan
terdiri atas harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda
yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karenanya menjadi
milik bersama suami istri. Terhadap harta bersama, suami atau istri hanya dapat
bertindak jika ada persetujuan bersama, sedangkan harta bawaan adalah harta
yang diperoleh masing-masing suami atau istri dan berhak untuk melakukan apa
saja terhadap harta bawaan tersebut tanpa harus ada persetujuan dari pasangannya.[5]
Menurut ketentuan UUP, harta benda perkawinan sebenarnya
secara otomatis terbagi antara harta bersama dan harta bawaan. Akan tetapi,
tidak tertutup kemungkinan bagi suami dan istri yang ingin membuat perjanjian
perkawinan mengenai pemisahan atau pengurusan harta. Selain mengenai pemisahan
atau pengurusan harta, hal lainnya pun dapat diperjanjikan sepanjang tidak
bertentangan dengan batasan hukum, agama, dan kesusilaan, sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 UUP yang berbunyi sebagai berikut:
1)    Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga terlibat.
2)    Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan.
3)    Perjanjian
tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4)    Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
UUP menempatkan suami dan istri dalam kewajiban memikul
tanggung jawab dalam rumah tangga secara sejajar, artinya baik suami maupun
istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menegakkan rumah tangganya
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUP. Hak dan kedudukan suami istri adalah
seimbang dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
Oleh karena kesetaraan kedudukan suami dan istri di dalam
UUP tersebut, maka lahirlah tanggung jawab dari suami atau istri itu sendiri
ketika salah satu dari mereka melakukan perbuatan hukum. Pada prinsipnya,
prinsip tanggung jawab itu dibedakan dalam:
a.    Tanggung
Jawab Intern
Tanggung
jawab intern adalah pembagian beban tanggungan dalam hubungan antara suami dan
istri sendiri. Hal ini tidak diatur secara tegas dalam UUP. Namun, dalam Pasal
36 ayat (2) UUP telah disebutkan bahwa harta pribadi yang berwujud harta bawaan
dan harta hibahan serta harta warisan adalah milik suami atau istri yang bersangkutan
dan atas harta tersebut masing-masing suami atau istri mempunyai wewenang
sepenuhnya. Atas dasar tersebut, dapat dikemukakan bahwa menurut UUP, asas
tanggung jawab intern adalah masing-masing suami atau istri bertanggung jawab
sendiri atas utang-utang pribadinya. 
b.    Tanggung
Jawab Ekstern
Pada prinsipnya, masing-masing suami atau istri
menanggung hutang pribadinya masing-masing, baik hutang pribadi sebelum maupun
sepanjang perkawinan dengan harta pribadinya. Harta bersama adalah milik
bersama suami dan istri. Isinya adalah hasil usaha maupun hasil harta benda
mereka, baik bersama maupun masing-masing. Mereka jugalah yang mengikatkan
harta bersama kepada pihak ketiga. Atas dasar itu, adillah kiranya, kalau baik
suami maupun istri bertanggung jawab atas utang bersama yang dibuat olehnya
dengan harta bersama.[6]
Dalam konsepsi UUP, setiap perkawinan pasti menyebabkan
adanya harta bersama. Harta bersama ini bukan lahir dari perjanjian kawin,
tetapi lahir karena undang-undang. Oleh karena itu, jika ingin mengajukan
permohonan pailit terhadap debitor yang terikat dalam perkawinan yang sah,
harus diperhatikan apakah perkawinan tersebut tunduk pada UUP atau KUH Perdata.
Hal ini penting, untuk mengetahui apakah ada harta bersama atau tidak serta
siapa-siapa saja yang harus dimohonkan pailit. Dengan adanya harta bersama,
kepailitan suami atau istri dapat menyebabkan pailit terhadap pasangannya. Hal
ini sesuai dengan Pasal 23 UUKPKPU yaitu debitor pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang
menikah dalam persatuan harta. [7]
F.   
Metode
Penelitian
1. Metode Pendekatan 
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yuridis normatif, yaitu
metode penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, di samping juga menelaah
kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat.[8]
Dengan kata lain, secara spesifik metode pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statue
approach) yaitu dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang
bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani.[9]
2. Spesifikasi Penelitian 
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yaitu
menganalisa obyek penelitian dengan memaparkan situasi dan keadaan, dengan cara
pemaparan data yang diperoleh sebagaimana adanya, yang kemudian dianalisis yang
menghasilkan beberapa kesimpulan.
3. Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan beberapa tahap
penelitian, yaitu:
a.    Penelitian
Kepustakaan (Library Research)
Dalam penelitian ini, digunakan penelitian kepustakaan
yang bersifat mengikat pada masalah-masalah yang diteliti, yang terdiri dari:
1)    Bahan
hukum primer, yaitu terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan antara
lain:
a)    Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
b)    Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c)    Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
d)    Peraturan
perundang-undangan yang lainnya.
2)    Bahan-bahan
hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer,
antara lain:
a)    Hasil
karya ilmiah para sarjana;
b)    Hasil-hasil
penelitian
3)    Bahan-bahan
hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder, antara lain berupa artikel di koran dan majalah serta
situs internet
b.    Penelitian
Lapangan (Field Research)
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data primer
sebagai penunjang data sekunder sebagai upaya memperoleh informasi lebih jelas
mengenai masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.
4.    Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara
Studi Kepustakaan. Dilakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan landasan
teoretis, beberapa pendapat-pendapat atau hasil tulisan-tulisan para ahli atau
pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk mendapatkan informasi baik dalam
bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi.
5.    Metode
Analisis Data 
Data yang telah terkumpul dianalisis secara yuridis
kualitatif yang bertitik tolak dari norma-norma, asas-asas dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif.
1.    Lokasi
Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di beberapa lokasi untuk
memperoleh data yang diperlukan, antara lain:
a.    Penelitian
Kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Universitas Padjadjaran (CISRAL), Jalan
Dipati Ukur Nomor 46, Bandung;
b.    Penelitian
Kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur Nomor 35, Bandung;
G.  
Sistematika
Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan
dan memperoleh gambaran secara keseluruhan mengenai penelitian ini, maka
sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dalam
penyajiannya.
BAB I             PENDAHULUAN
Pada Bab ini Penulis memberikan informasi yang bersifat
umum dan menyeluruh yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II            TINJAUAN UMUM MENGENAI UTANG SUAMI
ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN KEPAILITAN DAN PEMBERESAN KEPAILITAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG
Pada Bab ini Penulis memberikan gambaran umum mengenai perkawinan
di Indonesia, perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama, kepailitan yang
terjadi pada suami atau istri, serta pengurusan dan pemberesan kepailitan.
BAB III           KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG
MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT
            Pada Bab ini penulis  membahas mengenai tinjauan umum tentang
kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam
boedel pailit.
BAB IV           KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN
SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
            Pada bab ini Penulis memberikan analisis dan membahas identifikasi masalah
yang Penulis angkat dalam skripsi ini. Berdasarkan identifikasi masalah
tersebut maka pada Bab  ini
membahas mengenai utang
suami atau istri yang mengakibatkan kepailitan dan masuknya harta bersama ke
dalam boedel pailit. 
BAB V            KESIMPULAN DAN SARAN
Bab
ini merupakan bab terakhir dari seluruh uraian yang ada, berisikan tentang
beberapa simpulan dari hasil analisa Penulis terhadap permasalahan yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya dan kemudian Penulis memberikan saran yang berkaitan
dengan jawaban dari permasalahan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia
menurut Perundangan: Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung,
2003.
Isis
Ikhwansyah,dkk., Hukum Kepailitan
(Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan),
Keni Media, Bandung, 2012.
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010.
J. Satrio,
Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada
Media Group,Jakarta, 2005.
Ronny
Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian
Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1990.
Soejono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Zainal
Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Utang di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
[1] Zainal Asikin, Hukum
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada,  Jakarta, 2002, hlm. 26
[2] Isis
Ikhwansyah,dkk., Hukum Kepailitan
(Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan),
Keni Media, Bandung, 2012,  hlm.  19
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut
Perundangan: Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.
123-124
[8]  Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:  Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 10.
 
kereennnnn!
BalasHapusNtaaappss
BalasHapus