Kamis, 14 Mei 2015

Contoh Usulan Penelitian - Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A.   Latar Belakang
Perkawinan mengakibatkan timbulnya ikatan lahir batin antara dua orang berlainan jenis yang telah terikat dan ingin mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu, bagi suami dan istri harus menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing secara seimbang agar tujuan perkawinan yang dicita-citakan dapat tercapai.
Perkawinan yang sah akan mengakibatkan bukan hanya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita, tetapi juga menimbulkan harta benda suami dan istri dalam perkawinan. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan berlangsung, dengan tidak mempermasalahkan pihak mana yang menghasilkannya (baik suami ata istri saja, ataupun suami dan istri secara bersama-sama), maka harta tersebut menjadi milik bersama antara suami dan istri. Oleh karena itu, mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak bersama-sama atau hanya salah satu pihak yang bertindak, tetapi atas persetujuan pihak lainnya.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga, suami atau istri bekerja untuk mencari nafkah. Namun, saat ini, tidak sedikit pasangan suami istri yang melakukan wirausaha. Salah satu kendala terbesar dalam berwirausaha adalah persoalan modal untuk membiayai kegiatan usaha. Agar kebutuhan akan modal usaha tersebut dapat terpenuhi, suami atau istri dapat mengajukan pinjaman kepada pihak lain, baik lembaga perbankan maupun perorangan. Orang yang memperoleh pinjaman disebut sebagai Debitor, sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut sebagai Kreditor.
Pada hakikatnya, pemberian pinjaman (kredit) oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman tersebut tepat pada waktunya. Selain kepercayaan dari kreditor, hal yang paling diutamakan adalah pemberian jaminan (agunan) oleh debitor kepada kreditor, sehingga ada kepastian bahwa debitor akan membayar utangnya atau mengembalikan pinjamannya tepat waktu.
Adanya jaminan, bukan berarti utang-utang yang dibuat debitor akan selalu dibayar tepat waktu kepada kreditor, ada kalanya karena suatu alasan tertentu misalnya disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit, keadaan terpaksa ataupun karena kelalaian debitor sendiri, utang-utang tersebut menjadi tidak terbayarkan tepat waktu. Dengan adanya jaminan, maka hak dari kreditor menjadi terlindungi karena kreditor dapat mengeksekusi barang yang dijaminkan tersebut sebagai pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh debitor.
Ada kalanya, ketika berutang, debitor tidak menjaminkan apapun kepada kreditor. Walaupun demikian, undang-undang tetap akan melindungi kepentingan kreditor, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”
Selain harta kekayaan debitor yang menjadi jaminan bagi utang-utangnya, dalam Pasal 1132 KUH Perdata pun disebutkan bahwa kebendaaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Pada praktiknya, ada kemungkinan bahwa seorang debitor yang terikat perkawinan yang sah mempunyai utang kepada lebih dari satu kreditor. Dengan demikian, pada saat debitor lalai untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor-kreditor tersebut, maka segala harta kekayaannya akan dijual untuk pelunasan utang-utangnya tersebut. Tetapi, pada saat dilakukan pembagian hasil penjualan harta debitor, seringkali terjadi pertentangan antara para kreditor untuk medapatkan pelunasan atas piutangnya.
Untuk mencegah pertentangan antara para kreditor tersebut, biasanya debitor atau kreditor lebih memilih menyelesaikan permasalahan tersebut melalui lembaga kepailitan. Lembaga kepailitan akan mengadakan suatu penyitaan umum terhadap seluruh harta kekayaaan debitor, yang selanjutnya akan dibagi secara adil kepada para kreditor di bawah pengawasan petugas yang berwenang untuk itu.[1]
Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan oleh debitor yang terikat perkawinan yang sah adalah perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuan pasangannya masing-masing. Apabila salah satu pihak yang berutang tersebut, misalnya dipailitkan, maka pihak lainnya tidak bersedia turut bertanggung jawab dengan alasan tidak mengetahui atau tidak menyetujui perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan pasangannya. Padahal secara langsung maupun tidak langsung, pasangan yang tidak terlibat perjanjian utang piutang tersebut ikut menikmati hasil dari perjanjian. Menurut ketentuan Peraturan Kepailitan, apabila salah satu pihak yang terikat perkawinan yang sah dinyatakan pailit, maka pasangannya pun secara yuridis akan ikut pailit dan harta bersama mereka akan disita untuk dijadikan pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut.    
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk merumuskan masalah dalam penulisan hukum yang berjudul: ”KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG”

B.   Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah kajian hukum mengenai kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2.    Apakah pihak istri atau suami dapat menolak dimasukkannya harta bersama ke dalam boedel pailit oleh Kurator terkait dengan utang yang dibuat suami atau istrinya selama perkawinan sehingga menimbulkan kepailitan?

C.   Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu :
1.    Untuk mengetahui dan memahami kajian hukum mengenai kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.
2.    Untuk menentukan tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri dalam menyelesaikan masalah kepailitan yang dihadapi.

D.   Kegunaan Penelitian
Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu antara lain :
1.    Kegunaan teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum, terutama hukum perkawinan dan hukum kepailitan. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan literatur baru bagi penulisan-penulisan karya ilmiah berikutnya.
2.    Kegunaan praktis
Diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak terutama debitor dalam suatu perjanjian utang piutang yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah.
Selain itu, diharapkan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas yang ingin mengenal dan memahami berbagai aspek mengenai kebijakan pemberesan kepailitan yang melibatkan harta bersama dalam perkawinan.
Kemudian, diharapkan dengan penulisan ini dapat menjadi masukan-masukan yang sangat berarti bagi para calon kurator yang berwenang dalam melakukan pemberesan kepailitan.

E.   Kerangka Pemikiran
Dalam hal  seorang debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka masing-masing kreditor akan berupaya untuk mendapatkan pelunasan utangnya terlebih dahulu. Untuk mengatur tata cara pembayaran piutang para kreditor, dibentuklah suatu lembaga kepailitan.
Lembaga kepailitan merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 1131 jo. 1132 KUH Perdata mengenai prinsip “paritas creditorium” dan prinsip ”pari passu prorate parte” yang merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari debitor terhadap para kreditornya.
Prinsip “paritas creditorium” (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor.
Prinsip “paritas creditorium” mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.
Filosofi dari prinsip “paritas creditorium” adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda sementara utang debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utang-utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak berkenaan langsung dengan utang-utangnya.
Namun demikian, prinsip “paritas creditorium” jika diterapkan secara letterlijk akan menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan prinsip “paritas creditorium” adalah menyamaratakan kedudukan para kreditor, tanpa mempertimbangkan besar kecilnya piutang tiap-tiap kreditor atau membedakan kreditor yang memegang jaminan dengan kreditor yang tidak mendapat jaminan. Oleh karena itu, prinsip “paritas creditorium” harus dibarengi dengan prinsip ”pari passu prorate parte”.
Prinsip ”pari passu prorate parte” berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama bagi para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional, kecuali jika menurut undang-undang, di antara para kreditor ada yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran piutangnya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih adil dengan cara yang sesuai dengan proporsinya.  [2]
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), definisi kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Untuk dapat dinyatakan pailit, debitor harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Menurut Pasal 1 angka 1 UUKPKPU, yang dimaksud dengan Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Pasal 1 angka 3 UUKPKPU memberikan definisi Debitor, yaitu orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Utang yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, definisinya dicantumkan di dalam Pasal 1 angka 6 UUKPKPU, yaitu:
“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Akibat yuridis jika debitor dipailitkan diatur dalam Bab II Bagian Kedua UUKPKPU. Akibat-akibat kepailitan yang menyangkut dengan harta debitor antara lain yaitu sebagai berikut:
a.    Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan. Pasal 21 UUKPKPU menyebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitor dan bukan meliputi diri debitor.
b.    Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit. Dengan adanya putusan pernyataan pailit, mereka yang selama berlangsungnya kepailitan melakukan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan. Ketentuan Pasal 27 UUKPKPU mengandung arti bahwa mereka yang merasa sebagai kreditor apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit, harus mendaftarkan piutangnya itu untuk dicocokkan dalam verifikasi. Hal itu kembali menegaskan bahwa setelah putusan pernyataan pailit segala tuntutan berkaitan dengan harta pailit harus didaftarkan kepada curator.
c.    Akibat kepailitan terhadap harta warisan
Kemungkinan selama kepailitan, Debitor memperoleh warisan. Mengenai hal terseut, Pasal 40 UUKPKPU mengaturnya dan menyebutkan bahwa warisan yang jatuh kepada debitor selama kepailitan, oleh Kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila harta warisan tersebut menguntungkan harta pailit. Untuk tidak menerima warisan yang dimaksud, Kurator memerlukan izin hakim pengawas.

Adanya putusan pernyataan pailit mengakibatkan Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pailit diucapkan, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 24 UUKPKPU.

Konsekuensi dari perkawinan yang sah adalah terbentuknya harta benda perkawinan sebagai kekayaan untuk membiayai kebutuhan hidup dalam rumah tangga.
Soerjono Soekanto membagi harta benda perkawinan ke dalam 4 unsur yaitu:[3]
a.    Harta kekayaan yang diperoleh dari suami atau istri, yang merupakan warisan atau hibah/ pemberian dari kerabat yang dibawa ke dalam keluarga;
b.    Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan selama perkawinan;
c.    Harta kekayaan yang diperoleh dari hadiah kepada suami-istri pada waktu perkawinan;
d.    Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami istri dalam masa perkawinan.
Menurut Hilman Hadikusuma, harta perkawinan dikelompokkan menjadi:[4]
a.    Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam ikatan perkawinan, baik yang berupa hasil jerih payah masing-masing atau yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka berlangsung;
b.    Harta pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil karya suami/istri selam ikatan perkawinan berlangsung;
c.    Harta peninggalan;
d.    Harta pemberian seperti hadiah, hibah, dan lain-lain.
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan diatur dalam Pasal 35 jo. 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pasal 35 UUP berbunyi sebagai berikut:
1)    Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2)    Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya, Pasal 36 UUP berbunyi sebagai berikut:
1)    Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.
2)    Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, harta dalam perkawinan terdiri atas harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karenanya menjadi milik bersama suami istri. Terhadap harta bersama, suami atau istri hanya dapat bertindak jika ada persetujuan bersama, sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami atau istri dan berhak untuk melakukan apa saja terhadap harta bawaan tersebut tanpa harus ada persetujuan dari pasangannya.[5]
Menurut ketentuan UUP, harta benda perkawinan sebenarnya secara otomatis terbagi antara harta bersama dan harta bawaan. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bagi suami dan istri yang ingin membuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan atau pengurusan harta. Selain mengenai pemisahan atau pengurusan harta, hal lainnya pun dapat diperjanjikan sepanjang tidak bertentangan dengan batasan hukum, agama, dan kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUP yang berbunyi sebagai berikut:
1)    Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga terlibat.
2)    Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
3)    Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4)    Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
UUP menempatkan suami dan istri dalam kewajiban memikul tanggung jawab dalam rumah tangga secara sejajar, artinya baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menegakkan rumah tangganya sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUP. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
Oleh karena kesetaraan kedudukan suami dan istri di dalam UUP tersebut, maka lahirlah tanggung jawab dari suami atau istri itu sendiri ketika salah satu dari mereka melakukan perbuatan hukum. Pada prinsipnya, prinsip tanggung jawab itu dibedakan dalam:
a.    Tanggung Jawab Intern
Tanggung jawab intern adalah pembagian beban tanggungan dalam hubungan antara suami dan istri sendiri. Hal ini tidak diatur secara tegas dalam UUP. Namun, dalam Pasal 36 ayat (2) UUP telah disebutkan bahwa harta pribadi yang berwujud harta bawaan dan harta hibahan serta harta warisan adalah milik suami atau istri yang bersangkutan dan atas harta tersebut masing-masing suami atau istri mempunyai wewenang sepenuhnya. Atas dasar tersebut, dapat dikemukakan bahwa menurut UUP, asas tanggung jawab intern adalah masing-masing suami atau istri bertanggung jawab sendiri atas utang-utang pribadinya.
b.    Tanggung Jawab Ekstern
Pada prinsipnya, masing-masing suami atau istri menanggung hutang pribadinya masing-masing, baik hutang pribadi sebelum maupun sepanjang perkawinan dengan harta pribadinya. Harta bersama adalah milik bersama suami dan istri. Isinya adalah hasil usaha maupun hasil harta benda mereka, baik bersama maupun masing-masing. Mereka jugalah yang mengikatkan harta bersama kepada pihak ketiga. Atas dasar itu, adillah kiranya, kalau baik suami maupun istri bertanggung jawab atas utang bersama yang dibuat olehnya dengan harta bersama.[6]
Dalam konsepsi UUP, setiap perkawinan pasti menyebabkan adanya harta bersama. Harta bersama ini bukan lahir dari perjanjian kawin, tetapi lahir karena undang-undang. Oleh karena itu, jika ingin mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang terikat dalam perkawinan yang sah, harus diperhatikan apakah perkawinan tersebut tunduk pada UUP atau KUH Perdata. Hal ini penting, untuk mengetahui apakah ada harta bersama atau tidak serta siapa-siapa saja yang harus dimohonkan pailit. Dengan adanya harta bersama, kepailitan suami atau istri dapat menyebabkan pailit terhadap pasangannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 23 UUKPKPU yaitu debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang menikah dalam persatuan harta. [7]
F.    Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, di samping juga menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat.[8] Dengan kata lain, secara spesifik metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) yaitu dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani.[9]
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yaitu menganalisa obyek penelitian dengan memaparkan situasi dan keadaan, dengan cara pemaparan data yang diperoleh sebagaimana adanya, yang kemudian dianalisis yang menghasilkan beberapa kesimpulan.
3. Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan beberapa tahap penelitian, yaitu:
a.    Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Dalam penelitian ini, digunakan penelitian kepustakaan yang bersifat mengikat pada masalah-masalah yang diteliti, yang terdiri dari:
1)    Bahan hukum primer, yaitu terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:
a)    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b)    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c)    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
d)    Peraturan perundang-undangan yang lainnya.
2)    Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, antara lain:
a)    Hasil karya ilmiah para sarjana;
b)    Hasil-hasil penelitian
3)    Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain berupa artikel di koran dan majalah serta situs internet
b.    Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data primer sebagai penunjang data sekunder sebagai upaya memperoleh informasi lebih jelas mengenai masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.
4.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara Studi Kepustakaan. Dilakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan landasan teoretis, beberapa pendapat-pendapat atau hasil tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk mendapatkan informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi.
5.    Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis secara yuridis kualitatif yang bertitik tolak dari norma-norma, asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif.
1.    Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di beberapa lokasi untuk memperoleh data yang diperlukan, antara lain:
a.    Penelitian Kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Universitas Padjadjaran (CISRAL), Jalan Dipati Ukur Nomor 46, Bandung;
b.    Penelitian Kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur Nomor 35, Bandung;

G.   Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dan memperoleh gambaran secara keseluruhan mengenai penelitian ini, maka sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dalam penyajiannya.
BAB I             PENDAHULUAN
Pada Bab ini Penulis memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II            TINJAUAN UMUM MENGENAI UTANG SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN KEPAILITAN DAN PEMBERESAN KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
Pada Bab ini Penulis memberikan gambaran umum mengenai perkawinan di Indonesia, perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama, kepailitan yang terjadi pada suami atau istri, serta pengurusan dan pemberesan kepailitan.

BAB III           KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT
            Pada Bab ini penulis  membahas mengenai tinjauan umum tentang kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.

BAB IV           KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
            Pada bab ini Penulis memberikan analisis dan membahas identifikasi masalah yang Penulis angkat dalam skripsi ini. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut maka pada Bab  ini membahas mengenai utang suami atau istri yang mengakibatkan kepailitan dan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.

BAB V            KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir dari seluruh uraian yang ada, berisikan tentang beberapa simpulan dari hasil analisa Penulis terhadap permasalahan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dan kemudian Penulis memberikan saran yang berkaitan dengan jawaban dari permasalahan yang terjadi.





DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan: Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003.

Isis Ikhwansyah,dkk., Hukum Kepailitan (Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan), Keni Media, Bandung, 2012.

Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group,Jakarta, 2005.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.



PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang



[1] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,  Jakarta, 2002, hlm. 26
[2] Isis Ikhwansyah,dkk., Hukum Kepailitan (Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan), Keni Media, Bandung, 2012,  hlm.  19
[3] Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 244
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan: Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 123-124
[5] Isis Ikhwansyah, Hukum Kepailitan, hlm. 11
[6] J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 213
[7]  Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 49-50
[8]  Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:  Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 10.
[9]  Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group,  2005, hlm. 9.

2 komentar: