E. TUJUAN HUKUM ISLAM
Imam al-Syatibi telah melakukan istiqra ( penelitian ) yang digali dari Al Qur’an maupun Sunnah, yang menyimpulkan bahwa tujuan hukum Islam ( maqashid al-syari’ah ) di dunia ada lima hal, yang dikenal dengan al-maqashid al syari’ah yaitu :
1. Memelihara agama ( Hifdz al-Din ). Yang dimaksud dengan agama di sini adalah agama dalam
arti sempit ( ibadah mahdhah ) yaitu hubungan manusia dengan Allah Swt, termasuk di dalamnya aturan tentang syahadat, shalat, zakat, puasa, haji dan aturan lainnya yang meliputi hubungan manusia dengan Allah St, dan larangan untuk meninggalkannya.;
2. Memelihara diri ( Hifdz al Nafs ) termasuk di dalam bagian kedua ini, larangan membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain, larangan menghina dan lain sebagainya, dan kewajiban menjaga diri ;
3. Memelihara keturunan dan kehormatanan ( Hifdz al-nas ) seperti aturan-aturan tentang pernikahan, larangan perzinahan dan lain-lain ;
4. Memelihara harta ( Hifdz al mal ) termasuk bagian ini kewajiban kasb al-halal, larangan mencuri, dan menghasab harta orang lain ;
5. Memelihara akal ( Hifdz al ‘Aql ) termasuk di dalamnya larangan meminum minuman keras, dan kewajiban menuntut ilmu.
F. KAIDAH FIKH ( PENILAIAN SYARIAT )
Di antara asas hukum atau kaedah ushul al Fiqh yang penting ialah “ Ahkam al Khamsah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh itu. Bila di dalam teori hokum seperti Romawi, dasar penilaian (hukum) terhadap tingkah laku manusia dalam masyarakat itu ialah perintah dan larangan maka dalam ushuk al fiqh terdapat lima hokum/ nilai-nilai syariat/ ahkam alkhamsah yaitu :
Bersifat perintah 1. Fardh atau wajib perintah mutlak yang terdiri dari :
a. fardhu’ain dan
b. Fardhu kifayah.
2. Sunat
Bersifat larangan 3. haram ( larangan mutlak )
4…Makruh ( tidak mutlak )
Yang bersifat indifferent :
5. Djaiz/Mubah ( tidak diperintahkan dan tidak dilarang )
Kelima hukum atau nilai-nilai syariat pokok ini yaitu :
1. Fardhu atau wajib adalah satu perintah yang harus dilakukan oleh seorang muslim . Apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila tidak dilakukan ia berdosa , wajib dibagi menjadi dua yaitu :
a. Farhdu ‘ain ( ain=orang ) adalah perintah yang ditujukan kepada setiap orang , seperti perintah wajib Shalat, Zakat , Puasa ,dll.
b. Fardhu Kipayah ( kafa=cukup ) adalah perintah yang ditujukan kepada satu kumpulan ( kolektivitas ). Apabila kewajiban tersebut tidak ada yang melaksanakannya, maka setiap orang warga kolektivitas itu berdosa, tetapi bila ada sebagian saja yang melakukannya, maka kewajiban setiap orang dianggap telah tertunaikan contohnya menyelenggarakan pengurusan jenazah.
2. Sunat adalah perintah yang bersifat tidak mutlak. Apabila perintah itu dilakukan ,maka seorang mendapat pahala dan tidak dilakukan tidak berdosa contoh mengeluarkan shadaqoh ( sedekah ).
3. Haram ialah suatu larangan yang mutlak. Apabila seorang muslim mentaati larangan ini ia akan mendapat pahala, apabila dikerjakan maka ia akan berdosa, contoh mengkonsumsi Narkoba.
4. Makruh adalah bentuk larangan yang tidak mutlak, apabila seorang muslim mentaati larangan ini ia mendapat pahala, sedangkan apabila larangan ini dikerjakan ia tidak berdosa misalnya merokok.
5. Djaiz/Mubah adalah hal-hal yang tidak dihiraukan tidak diperintahkan dan tidak pula dilarangnya , tidak berpahala dan tidak berdosa apabila mengerjakannya misalnya gerak badan di pagi hari.
G. SUMBER HUKUM ISLAM
Dalam Surat An Nisa ayat 59 yang artinya :
“ Wahai orang-orang beriman, patuhilah akan Allah, patuhilah RasulNya, dan patuhilah orang-orang yang memerintah di antara kamu “
Kalau kita simpulkan ayat di tas, maka sumber Hukum Islam menurut Saidus Syahar adalah :
Sumber utama : Yakni wahyu, yang dapat dibagi dalam :
1. wahyu langsung (Al Qur’an)
2. wahyu tiddak langsung ( Al Hadits ).
Deduction atau kesimpulan yang ditarik dari wahyu, yang dibagi dalam :
1. Qiyas (analogi ) Hasil penarikan kesimpulan seorang mujtahid.
2. Ijma (persamaan pendapat dari beberapa mujtahid ).
3. dan lain-lain
1. Al Qur’an
Qur’an bahasa Arab berasal dari kata kerja “qara-a” yang berarti membaca. Jadi Al Qur’an berarti bacaan. Secara tekhnis (fiqih ) berarti Kitab suci Islam berasal dari wahyu Allah Swt yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW,semasa kenabiaannya.
a. Garis-garis besar Al Qur’an
Garis-garis besar Al Qur’an meliputi :
1) Tauhid, kepercayaan terhadap Rukun Iman yang enam,
2) Tuntunan ibadah sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid’
3) Janji dan ancaman’
4) Hukum yang dihayati dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara’
5) Inti sejarah misalnya jatuhnya Persia pada perang ke II oleh Romawi, dalam perang Khaibar umat Muslim akan menang.
6) Ilmu Pengetahuan dan teknologi.
b. Dasar al Qur’an dalam membuat hukum :
1. tidak memberatkan
dasar hukumnya al Baqarah ayat 185, 286
2. berangsur-angsur
al Baqarah ayat 219 , kemudian an Nisa ayat 43, akhirnya Al Maidah ayat 90
c. Watak Al Qur’an
Dari segi historis, watak dari isi Al Qur’an itu dapat dibagi dalam dua periode yaitu :
1. Periode Mekkah, ayat-ayatnya disebut ayat-ayat Makkiyah,
2. Periode Madinah, ayat-ayatnya disebut ayat-ayat Madaniyah.
Ayat-ayat Makkiyah ialah ayat-ayat yang diturunkan semasa nabi masih menetap di Mekkah lebih kurang 12 tahun ( 610-622 M ).
Ayat-ayat Makkiyah mempunyai karakter tersendiri yaitu lebih banyak berisikan ajaran-ajaran ketauhidan dan kesusilaan.( bersifat rohaniyah )
Ayat-ayat Madaniyah diturunkan pada masa nabi Muhammad SAW berada di Madinah, hingga pada masa wafatnya nabi tahun 632 M.
Ayat-ayat Madaniyah bersifat lahiriyah mengenai peraturan tingkah laku manusia.
c. Penafsiran Al Qur’an
Ayat-ayat Al Qur’an bersifat mujmal ( umum), dan untuk menerangkannya selama nabi masih hidup diterangkan oleh nabi sendiri. Setelah nabi wafat dijelaskan oleh para sahabat nabi, dan mengingat perkembangan selanjutnya karena dirasakan kebutuhannya timbullah suatu ilmu baru yang berfungsi sebagai pencari penjelasan isi Al Qur’an yaitu ilmu Tafsir
Untuk mentafsirkan isi Al Qur’an digunakan :
1. Dari segi bahasa/Gramatikal,
2. Latar belakang sejarah/histories ( asbabun Nuzul )
3. Penafsiran logis, hubungan antara ayat yang satu dengan ayat
yang lain,
4. Bantuan Hadits
2. Sunnah ( Al hadits )
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.
Sunnah menurut istilah syara ialah perkataan nabi Muhammad SAW, perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat kemudian ditetapkan oleh nabi, tidak ditegur sebagai bukti bahwa perbuatan itu tidak terlarang hukumnya.
Sunnah dibagi menjadi :
a. Sunnah Qauliyah
Ialah perkataan Nabi SAW yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al Qur’an serat berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuandan juga menganjurkan akhlak yang mulia.
b. Sunnah Fi’iliyah
yaitu perbuatan Nabi yang menerangkan cara melaksanakan ibadah dibagi menjadi :
1) pekerjaan nabi yabg bersifat gerakan jiwa, gerakan tubuh, dan gerakan hati misalnya cara duduk, berjalan ( tidak bersifat perintah dan larangan )
2) perbuatan nabi berupa kebiasaan misalnya cara makan, cara tidur,
3) perbuatan nabi yang khusus untuk beliau misalnya puasa tidak berbuka,
4) pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal seperti cara shalat, cara haji.
c. Sunnah Taqririyah
diamnya Nabi ketika melihat sesuatu perbuatan para sahabat , baik mereka kerjakan dihadapannya atau bukan dan sampai beritanya kepada beliau
misalnya : mempergunakan uang yang dipakai non muslim dll.
Ilmu hadits yaitu mulai dengan metode untuk memisahkan dan meneliti hadits yang palsu dari yang sehat ( syah ), ilmu itu disebut musthalah hadits
Penilaian hadits dilakukan dengan cara :
Ke I. dengan mengadakan penelitian terhadap orang-orang yang menjadi landasan ( bahas arabanya sanad ) daripada hadits itu, sehinga penilaian atas dasar ini disebut penilaian atas dasar sanadnya.
Orang yang menjadi sanad daripada jalanya hadits harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
a) jujur, cerdas, kuat daya ingatnya ( hafalannya ),
b) hadir sendiri ditempat dimana hadits tersebut dipindahkan ceritanya.
Ke II. Dengan mengadakan penelitian atas materi atau isi daripada hadits itu sendiri. Cara penelitian ini disebut penelitian atas matnya )
Dengan adanya penilaian tersebut maka terdapatlah tingkatan-tingkatan hadits yang pada umunya dapat dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu :
1) hadits Maudhu ( hadits palsu ),
2) hadits dha’if ( hadits lemah ),
3) hadits Shahih ( hadits sehat ).
Hadits yang shahih harus memenuhi syarat-syarat , baik dinilai dari sanadnya maupun matnya.
Pada masa sekarang kita dapat menemukan kumpulan hadits yang disusun oleh beberapa ahli yang terkenal, yaitu :
1) susunan dari Imam Buchori disebut Shahih Buchori ( wafat 256 M),
2) susunan dari Imam Muslim yang disebut shahih Muslim,
3) Himpunan dari Abu Dawud disebut shahih Dawud ( wafat 274 M ),
4) Himpunan dari Tirmizi disebut shahih Tirmizi ( wafat 278 M ),
5) Himpunan dari Ibn Majah disebut shahih Ibn Majah ( wafat 282 M ),
6) Himpunan dari Nasai disebut shahih Nasai ( wafat 302 M )
Keenam hadits ini dikenal dengan sebutan Kutub al Sittah yang artinya Kitab yang enam.
3. Ijma (consencus) .
Ijma menurut bahasa artinya setuju atau sepakat. sedangkan menurut istilah artinya :
“Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat nabi Muhammad, sesudah wafatnya pada suatu masa tentang suatu perkara”
Pembagian Ijma yaitu :
1) ijma Qauli ( Consescus )
. yaitu ijma dimana para ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma ini disebut juga ijma qath’i
2) Ijma Sukuti ( Silent Consescus )
Ialah ijma di mana para ulama ijtihad berdiam diri tidak mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau malu, ijma ini disebut juga ijma dhanni.
Subyek Ijma
Pendapat yang kuat ialah yang mengatakan bahwa yang dapat melakukan ijma itu hanyalah Mujtahid. Mujtahid yaitu orang-orang yang memenuhi syarat-syarat seperti mengetahui menddalam tentang Al Qur’an, Taikh, ilmu masyarakat dan sebagainya, serta orang bermoral tinggi dan adil.
Dalam ilmu ushul fiqih dari Imam Syafi’i dalam” Al-Risalah” dikenal beberapa tingkatan mujtahid sebagai berikut :
1) Mujtahid mutlak ialah para imam Mazhab yang kebebasannya melakukan ijtihad hampit tidak terbatas,
2) Mujtahid Mazhab ialah mujtahid yang kebebasan ijtihadnya terbatas pada mazhabnya, yaitu kebebasan berijtihadnya mengenai materi yang belum ada dalam mazhabnya,
3) Mujtahid Fatwa ialah ulama penganut sesuatu mazhab dalam menghadapi berbagai pendapat ulama yang berbeda-beda mengenai suatu materi dalam mazhabnya, maka ia berwenang menyatakan pilihannya .
Landasan Pembenar Ijma
Sebagai landasan untuk membenarkan ijma sebagai sumber hokum Islam dikemukakan :
1) Al Qur’an Surat 4 ayat 115.
2) Al Quran Surat An Nisa ayat 59,
3) Al hadits,
4) Logika.
4. . Qiyas
qiyas menurut bahasa artinya mengukur sesuatu dengan lainnya dan mempersamakannya.
Menurut istilah ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada kententuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya.
Landasan Pembenar Qiyas.
Landasan pembenar ( justification ) daripada qiyas adalah :
1) Al Qur’an surat Al Hasyr ayat 2,
2) Al Qur’an surat An Nisa ayat 59,
3) Hadits yang shahih yang terdapat dalam shahih Muslim yang meriwayatkan , bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW mengutus salah seorang sahabatnya bernama Muadh bin Jabbal keYaman.
Ketika Muadh menerima amanat dari nabi , Nabi bertanya :
Nabi : dengan apakah kamu memutus suatu perkara,
Muadh : dengan Kitabullah ( Al Qur’an ),
Nabi : bagaimana apabila hal itu tidak terdapat dalam al Qur’an’
Muadh : saya gunakan Sunah nabiku,
Nabi : bagaimana kalau tida ada pada sunahKu,
Muadh : lalu akan aku gunakan pikiranku ( berasaskan Al Qur’an dan Al Hadits )
Nabi : alangkah bangganya Aku mempunyai sahabat seperti mu.
Rukun QIyas
Rukun qiyas ada empat yaitu :
1) Ashal ( pangkal ) yang menjadi ukuran,
2) Far’un ( cabang ) yang diukurnya,
3) Illat yaitu yang menghubungkan pangkal dan cabang,
4) Hukum, yang ditetapkan pada Far’i sesudah tetap pada ashal ‘
Contoh.
Allah Swt telah mengharamkan arak, karena merusak akal , membinasakan badan, menghabiskan harta,maka segala minuman yang memabukkan dihukum haram juga.
1) segala minuman yang memabukkan yang diukurnya ialah Far’un ( cabang ),
2) Arak ialah yang manjadi ukurannya ( Ashal ),
3) Mabuk , merusak akal, ialah illat penghubung ashal dan cabang.
4) Hukum : segala yang memabukkan hukumnya haram.
5. Istid-lal
Menurut bahasa artinya mencari dalil,
Menurut istilah artinya mempergunakan alasan yang bukan dari AlQur’an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas.
Istid-lal meliputi :
1) Istish hab.
Ialah melanjutkan berlakunya hokum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai akan datang, selama tidak terdapat yang merubahnya.
Contoh seorang yang sudah Wudlu, kemudian datang keraguan hatinya bahwa ia sudah batal atau tidak , maka menurut istish hab dihukum punya wudlu.
2) Maslahat mursalah.
Ialah memelihara maksud syara dengan jalan menolak segala yang merusakkanya.
Syarat-syarat nya yaitu :
a. Berlakunya hanya dalam bidang muammalah,
b. Tidak bertentangan dengan hukum Islam,
c. Kemaslahatan diperlukan untuk kepentingan umum.
Contoh :
Dalam pernikahan mengadakan persyaratan adanya surat nikah.
3) Saddudz Dzara-i
Ialah menghindarkan sesuatu perbuatan yang tidak dilarang hokum Islam, tetapi sebenarnya perbuatan itu dapat mendatangkan kerusakan,
Misalnya melarang meminum seteguk minuman keras, padahal seteguk itu tidak memabukkan.
4) Dalalah Iqtiran
Ialah dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu sama hukumnya dengan sesuatu yang disebut bersama-sama.
Misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 196
“ Dan sempurnakan haji dan umrah karena Allah “
Menurut Imam syafe’i Umrah menjadi wajib karena disebut bersama-sama dengan ibadah Haji.
5) Istishan
Ialah mengecualikan ( memindahkan ) hukum sesuatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain sejenisnya dan memberikan kepadanya hokum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengecualian tersebut. Istishan kebalikan dari Qiyas.
6) Urf ( kebiasaan/Adat )
Dari segi bahasa arti ‘Urf “ ialah mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima akal sehat
Kata-kata Urf dikenal dalam Al Qur’an misalnya dalam Surat Al A’raf ayat 199 )
Dalam istilah Fuqaha iastilaf urf berarti kebiasaan. Dari pengertian ini kita mengetahui bahwa urf dalam sesuatu perkara tidak terwujud kecuali apabila urf itu mesti berlaku pada perkara tersebut.
Contoh :
Kebiasaan masyarakat Indonesia pada perkawinan ialah bahwa keluarga dari pihak calon mempelai laki-laki datang ke tempat orang tua calon mempelai perempuan untuk meminangnya.
7) Syari’at Sebelum Islam
Syariat agama yang ada sebelum timbulnya Islam, seperti zaman Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Isa, dan lainnya.
Contoh
Masalah khitanan
Puasa nabi Daud
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar