BAB III
Landasan Teoritis
A.     
Persoalan Harta Benda Perkawinan
Undang-undang Perkawinan menyebutkan
3 macam harta, ialah harta bawaan, harta bersama, dan hadiah atau warisan yang
diperoleh masing-masing selama perkawinan. Mengenai harta bawaan masing-masing
suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum, sedangkan
mengenai harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.  Khusus mengenai harta bawaan dan harta yang
diperoleh selama perkawinan sebagai hadiah atau warisan , perihal penguasaannya
suami dan istri dapat mengadakan perjanjian. [1]
Harta bersama apabila dijual, harus
dengan persetujuan berdua, apabila dijual secara sepihak jual beli tersebut
dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri agar dibatalkan. Harus ditinjau dari
kasus ke kasus apakah permohonan tersebut nanti akan dikabulkan atau tidak.
Terhadap hutang piutang suami istri selama perkawinan, suami istri tersebut
bertanggung jawab dengan harta bawaannya dan harta bersama. Harta bawaan istri
tidak dipertanggungjawabkan untuk hutang suami. Yang menyangkut hutang suami
atau istri, setelah perceraian, suami atau istri bertanggungjawab sendiri
kepada hartanya.[2]
B.      Perjanjian Perkawinan
Bagi seorang yang kawin ada empat
macam kemungkinan untuk memperoleh kekayaan dari perkawinannya, yaitu : [3]
a)      Karena
kekayaan sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan kekayaan suami atau
isteri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan percampuran kekayaan. Cara
perolehan ini disebut “boedel menging”
b)      Karena
ia menerima pemberian-pemberian suami atau isteri dalam perjanjian perkawinan
c)       Karena
ia mendapat warisan menurut Undang-undang dari kekayaan suami atau isterinya
d)      Karena
ia menerima pemberian dalam suatu wasiat (testament) dari suami atau isterinya.
B.1 Pengaturan
Perjanjian Perkawinan Menurut UU No.1/1974
Salah satu azas yang terkandung
dalam UU no. 1/1974 terkait dengan perjanjian perkawinan adalah hak dan
kedudukan suami istri yang seimbang (azas equalitas)yang terlihat dalam pasal
31 UU No.1/1974. Menurut azas ini masing-masing pihak dapat melakukan perbuatan
hukum secara mandiri begitu pula terhadap harta bendanya. [4]
Kedudukan harta benda dalam
perkawinan, Pasal 35 UU no.1/1974 menyebutkan bahwa:
1.      
Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama 
2.      
Harta
bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Beranjak dari ketentuan tersebut
dapat dipahami bahwa pada azasnya kedudukan harta benda perkawinan adalah
terpisah, artinya harta benda masing-masing pihak pada dasarnya menjadi milik
suami atau istri secara pribadi dan dibawah pengawasan masing-masing bahkan
suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hokum
mengenai harta bendanya (pasal 36 UU No.1/1974). Konsekuensi yuridis dibuatnya suatu
perjanjian perkawinan menurut UU No. 1/1974, mempunyai dua implikasi, yakni
pemisahan harta bersama ataupun penyatuan harta bawaan suami istri. [5]
Perjanjian perkawinan diatur dalam
Bab V dan ditempatkan hanya dalam satu pasal yaitu pasal 29 UU No.1/1974 yang
terdiri dari empat ayat, bahwa:[6]
1)     
Pada
waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2)     
Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hokum, agama, dan
kesusilaan
3)     
Perjanjian
tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4)     
Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga
Pada prinsipnya perjanjian
perkawinan ini yang menjadi sumber dari berbagai bentuk harta benda dalam
perkawinan.[7]
Berkaitan dengan substansi perjanjian perkawinan, pasal 29 UU No.1/1974 tidak
mengatur secara tegas bahwa perjanjian perkawinan hanya terbatas pada harta
perkawinan, sehingga secara implisit dapat ditafsirkan perjanjian perkawinan
tersebut tidak terbatas hanya mengatur mengenai perkawinan saja.[8]
Batasan terhadap isi perjanjian
perkawinan hanya disebutkan bahwa isinya tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, agama, dan kesusilaan. Hal yang terpenting juga bahwa isi dari
perjanjian perkawinan ini yang mengenai harta perkawinan tidak boleh merugikan
pihak ketiga. UU No. 1/1974 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, ini
berarti bahwa mengenai isinya diserahkan sepenuhnya kepada penafsiran
pejabat-pejabat umum misalnya notaries atau para pihak sebagai pembuatnya dan
hakim apabila terjadi sengketa dikemudian hari.[9]
Keterbatasan pengaturan perjanjian
perkawinan ini membuat para pihak memiliki kebebasan untuk menyusun isinya
serinci dan selengkap mungkin. Klausula perjanjian perkawinan yang melanggar hukum, kesusilaan, dan agama adalah
batal demi hokum. Perjanjian yang melanggar norma-norma tersebut dapat
dimintakan pembatalannya oleh pihak ketiga, bahkan yang tidak terkait
sekalipun.[10]
Pada prinsipnya, substansi
perjanjian perkawinan terbatas mengenai kedudukan harta benda perkawinan.
Meskipun suami atau istri tidak mengatur secara tegas hal-hal diluar harta
benda perkawinan, norma agama, kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang juga
mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Dengan catatan, bahwa pihak ketiga juga
terikat dengan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri sebatas hanya
mengenai harta benda. Hal-hal lain diluar pengaturan mengenai harta benda
perkawinan, pihak ketiga tidak terikat terhadap segala akibat yang ditimbulkannya.
Pihak ketiga juga dapat mengajukan pembatalan perjanjian perkawinan tersebut,
terhadap seluruh isi atau sebagian klausula yang merugikan pihak ketiga.[11]
Perjanjian perkawinan dapat diubah
selama perkawinan berlangsung dengan syarat atas dasar kesepakatan antara suami
istri dan tidak boleh merugikan pihak ketiga. Apabila perubahan perjanjian
perkawinan itu merugikan pihak ketiga maka pihak ketiga tidak terikat terhadap
perubahan perjanjian perkawinan tersebut. Waktu pembuatan perjanjian perkawinan
ini diatur dalam UU No.1/1974 secara implisit ditentukan sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan, begitu pula terhadap pihak ketiga.[12]
Bentuk dari perjanjian perkawinan
tidak ditentukan secara tegas. Dapat dibuat dengan akta otentik atau cukup
dibawah tangan. Perjanjian perkawinan harus mendapat pengesahan dari Pegawai
Pencatat Perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya. Pencatatan perkawinan
dilakukan hanya oleh dua instansi, yaitu Pegawai Pencatat Nikah atau Kantor
Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membantunya (penjelasan PP no. 9/
1975), bagi mereka yang beragama islam harus mendapat pengesahan dari Pegawai
Pencatat Nikah, Talak, dan rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi
yang beragama selain Islam maka harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat
Perkawinan pada Kantor Catatan SIpil.[13]
Akibat hukum perjanjian perkawinan
yang tidak mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan adalah batal,
perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, sehingga berlakulah prinsip
kedudukan harta benda dalam perkawinan (Pasal 35 UU No. 1/1974). Dengan
demikian berarti terjadilah “pemisahan harta” atau kebersamaan harta benda
hanya terbatas pada harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung yang bukan berasal dari hadiah/hibah atau warisan.[14]
B.2 Perjanjian
Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi hukum Islam mengatur pada
azasnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan.
Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga
suami (pasal 86 Kompilasi Hukum Islam). Namun, para pihak dapat mengadakan
perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan dengan membuat perjanjian
perkawinan. Perjanjian perkawinan diatur dalam Buku I Bab VII mulai dari pasal
45-52. Istilah yang digunakan juga sama yaitu perjanjian perkawinan. Pasal 45
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa kedua calon suami istri ( dalam
kompilasi hukum islam disebut mempelai) dapat mengadakan perjanjian perkawinan
dalam bentuk :
1.      
Taklik
Talak dan
2.      
Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Berdasarkan kompilasi hukum Islam,
perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan.   Bentuk dari perjanjian
perkawinan, Kompilasi Hukum Islam harus tertulis. Pengesahannya pun dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah.[15]
Para calon mempelai juga dapat
mengatur mengenai keberadaan harta perkawinan. Isi perjanjian tersebut dapat
meliputi :
1.      
Percampuran
harta pribadi
2.      
Pemisahan
harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
hukum islam.
3.      
Menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan
harta bersama atau harta syarikat
Perjanjian percampuran harta pribadi
dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan
maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
Apabila isi perjanjian adalah
memisahkan keseluruhan harta, maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan limitasi
bahwa perjanjian yang mengatur mengenai 
keberadaan harta juga tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Konsekuensi apabila hal ini dilanggar dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban
suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga. Isi perjanjian perkawinan yang
terpenting adalah tidak melanggar atau bertentangan dengan hokum islam.
Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak
ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai
pencatat nikah. Selanjutnya, perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat
dicabut atas persetujuan bersama suami-istri dan wajib mendaftarkannya di
Kantor Pegawai Pecatatan Nikah di tempat perkawinan berlangsung.[16]
C.     
Putusnya Perkawinan
Pengertian Perceraian menurut Prof. Subekti  ialah penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.[17]
Perkawinan
dapat putus karena tiga hal :[18]
-         
Karena
kematian
-         
Karena
perceraian
-         
Atas
putusan pengadilan
Yang dimaksud dengan kematian adalah
kematian salah satu pihak, suami atau istri atau kematian kedua-duanya secara
sekaligus . yang dimaksud “atas putusan pengadilan” adalah yang menyangkut pembatalan
perkawinandengan keputusan pengadilan. Cara pemutusan perkawinan yang lain
adalah perceraian. Perceraian hanya dapat diputuskan setelah pengadilan
berusaha untuk memperdamaikan suami dan istri yang bersangkutan dan perdamaian
tersebut tidak berhasil. Usaha harus dilakukan untuk menyelamatkan perkawinan,
sebab apabila perceraian akibatnya akan sangat luas yang akan berpengaruh
kepada pendidikan anak-anak. 
Alasan-alasan untuk bercerai adalah :[19]
a.      
Salah
satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
b.     
Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
c.      
Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat,
setelah perkawinan berlangsung.
d.     
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
e.     
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
f.       
Antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang
tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu
:[20]
1.      
Suami
melanggar taklik talak dan
2.      
Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
Ada tiga
macam perceraian[21]
1.       Perceraian yang dilakukan oleh
seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut cara yang biasa
dilakukan oleh orang-orang yang beragama islam
2.       Perceraian yang diajukan oleh
seorang istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut cara yang biasa
dilakukan oleh orang-orang yang beragama islam
3.       Perceraian yang diajukan kepada
Pengadilan negeri oleh suami atau istri yang menikah di kantor catatan sipil 
Ad.1 suami yang beragama islam yang hendak
menceraikan istrinya mengajukan surat kepada Pengadilan tempat tinggalnya yang
berisi pemberitahuan bahwa ia berkehendak untuk menceraikan istrinya disertai
alas an-alasannya. Pengadilan akan mengadakan siding untuk menyaksikan
perceraian. Perceraian semacam ini terjadi, terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan didepan sidang Pengadilan
Ad.2 perceraian ini diajukan oleh istri yang
beragama Islam dengan suatu gugatan. Perceraian tersebut terjadi saat putusan
Pengadilan Agama mempunyai kekuatan yang pasti.
Ad.3 Bentuk perceraian ini dilakukan oleh suami
atau istri yang menikah di hadapan kantor pencatatan sipil, caranya adalah
dengan mengadakan gugatan perceraian kepada Pengadilan Negeri. Setelah
memperoleh putusan yang sudah berkekuatan pasti, perceraian ini didaftarkan di
kantor catatan sipil. Perceraian dianggap terjadi terhitung putusan tersebut
didaftarkan.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan. Pengadilan dapat mengijinkan suami istri tersebut untuk tidak
tinggal dalam satu rumah. Juga selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat :
a.      
Menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami
b.     
Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
c.      
Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak istri
Selain itu setelah berceraipun,
orangtua tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya sampai anak-anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri. 
Apabila perkawinan putus karena
perceraian atau dibatalkan oleh pengadilan waktu tunggu adalah 90 hari sejak
putusan pengadilan mempunyai kekuatan yang pasti. Apabila sebelumnya telah
terjadi hubungan kelamin, tidak ada waktu tunggu. Setelah perceraian terjadi
sebaiknya harta benda suami istri dibagi secara musyawarah dan mufakat, apabila
tidak dapat dilakukan secara demikian, dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan
Negeri agar masing-masing pihak memperoleh bagiannya.bagian masing-masing pihak
adalah setengah harta bersama, harta bawaan tetap milik masing-masing.
D.      Pengukuhan Putusan
Undang-undang Perkawinan mengharuskan bahwa
setiap putusan pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Untuk itu
setiap putusan Pengadilan Agama akan dikirimkan kepada Pengadilan Negeri.[22]
E.       Akibat Perceraian
Perceraian antara suami dan istri bukan hanya
memutuskan ikatan perkawinan saja, lebih lanjut perkawinan juga melahirkan
beberapa akibat seperti timbulnya pembagian harta bersama dan hak pengurusan
anak.
E.1 Mengenai
pengurusan anak
Pengurusan anak atau dikenal hadlonah. Hukum
islam menyebutkan apabila terjadi perceraian antara suami dan istri, maka istri
lah yang berhak mengasuh, mendidik, dan memelihara anak-anaknya selama anaknya
belum mumayyiz.[23]
Pemisahan Kekayaan
Untuk melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan
bersama serta kekayaan pribadisi isteri, undang-undang memberikan pada si
isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan
dengan tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh isteri :[24]
a)     
Apabila si suami dengan kelakuan yangnyata-nyata
tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga
b)     
Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk
terhadap kekayaan si isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi
habis
c)      
Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri,
hingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan
padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh si suami
terhadap kekayaan isterinya.
Pemisahan kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua
belah pihak dengan meletakkan persetujuan itu dalam suatu akte notaris, yang
harus diumumkan sama seperti yang ditentukan untuk pengumuman putusan hakim
dalam mengadakan pemisahan itu.[25]
Daftar Pustaka
Buku 
Abdul
Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan
Kewajiban Suami Istri dalam Penjaminan Harta 
Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, CV. Mandar Maju, Bandung . 2006
Abdurrahman,
Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV.
Akademika Pressindo 1995)
Ny.Retnowulan
Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum :
Himpunan karangan hukum yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas
Hukum Unika Atma Jaya, 2000.
Prof. Subekti, Pokok-Pokok
hukum Perdata, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI 1987
R. Soetojo
Prawirohamidjojo. Pluralisme Dalam
Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press,
Surabaya, 2006, Cetakan IV, halaman 58 (selanjutnya disebut R. Soetojo I)
R. Soetojo
Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan. Hukum
orang dan Keluarga (Personen en Familie-recht), Airlangga University Press,
Surabaya, Cetakan ketiga, 2000, hal.64 (Selanjutnya disebut R Soetojo II)
Soemiyati, Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.Yogyakarta, PT. Liberty:2004 . 
Jurnal Hukum
Faizal
Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (LNRI no. 1, TLNRI No.3019)
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan (LNRI No.2, TLNRI No. 3050) 
Kompilasi
Hukum Islam
[1] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum
yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya,
2000.
[2] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum
yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya,
2000.
[3] Prof.
Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, hal 41-42, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan
XXI 1987
[4] Abdul Manaf, Aplikasi asas equalitas
Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan
Mahkamah Agung, CV. Mandar Maju, Bandung, 2006. Hal. 24
[5] Faizal
Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013
[6]
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
[7] R. Soetojo Prawirohamidjojo.
Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga
University Press, Surabaya, 2006, Cetakan IV, halaman 58 (selanjutnya disebut
R. Soetojo I)
[8] Faizal
Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013
[9] R. Soetojo Prawirohamidjojo &
Marthalena Pohan, Hukum orang dan Keluarga (Personen en Familie-recht),
Airlangga University Press, Surabaya, Cetakan ketiga, 2000, hal.64 (Selanjutnya
disebut R Soetojo II)
[10] Faizal
Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Faizal
Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013 
[17] Prof.
Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, hal 42, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI
1987
[18] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum
yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya,
2000.
[19] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum
yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya,
2000.
[20] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta: CV. Akademika Pressindo 1995)
[21] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum
yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya,
2000.
[22] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum
yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya,
2000.
[23] Soemiyati,
Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.Yogyakarta, PT. Liberty:2004
. hal. 103 
[24] Prof.
Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, hal 46, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI
1987
[25] Prof.
Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, hal 47, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI
1987
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar