Selasa, 07 Mei 2013

landasan teoritis kasus perceraian



BAB III
Landasan Teoritis
A.      Persoalan Harta Benda Perkawinan
Undang-undang Perkawinan menyebutkan 3 macam harta, ialah harta bawaan, harta bersama, dan hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing selama perkawinan. Mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum, sedangkan mengenai harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.  Khusus mengenai harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan sebagai hadiah atau warisan , perihal penguasaannya suami dan istri dapat mengadakan perjanjian. [1]
Harta bersama apabila dijual, harus dengan persetujuan berdua, apabila dijual secara sepihak jual beli tersebut dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri agar dibatalkan. Harus ditinjau dari kasus ke kasus apakah permohonan tersebut nanti akan dikabulkan atau tidak. Terhadap hutang piutang suami istri selama perkawinan, suami istri tersebut bertanggung jawab dengan harta bawaannya dan harta bersama. Harta bawaan istri tidak dipertanggungjawabkan untuk hutang suami. Yang menyangkut hutang suami atau istri, setelah perceraian, suami atau istri bertanggungjawab sendiri kepada hartanya.[2]
B.      Perjanjian Perkawinan
Bagi seorang yang kawin ada empat macam kemungkinan untuk memperoleh kekayaan dari perkawinannya, yaitu : [3]
a)      Karena kekayaan sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan kekayaan suami atau isteri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan percampuran kekayaan. Cara perolehan ini disebut “boedel menging”
b)      Karena ia menerima pemberian-pemberian suami atau isteri dalam perjanjian perkawinan
c)       Karena ia mendapat warisan menurut Undang-undang dari kekayaan suami atau isterinya
d)      Karena ia menerima pemberian dalam suatu wasiat (testament) dari suami atau isterinya.
B.1 Pengaturan Perjanjian Perkawinan Menurut UU No.1/1974
Salah satu azas yang terkandung dalam UU no. 1/1974 terkait dengan perjanjian perkawinan adalah hak dan kedudukan suami istri yang seimbang (azas equalitas)yang terlihat dalam pasal 31 UU No.1/1974. Menurut azas ini masing-masing pihak dapat melakukan perbuatan hukum secara mandiri begitu pula terhadap harta bendanya. [4]
Kedudukan harta benda dalam perkawinan, Pasal 35 UU no.1/1974 menyebutkan bahwa:
1.       Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
2.       Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Beranjak dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pada azasnya kedudukan harta benda perkawinan adalah terpisah, artinya harta benda masing-masing pihak pada dasarnya menjadi milik suami atau istri secara pribadi dan dibawah pengawasan masing-masing bahkan suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hokum mengenai harta bendanya (pasal 36 UU No.1/1974). Konsekuensi yuridis dibuatnya suatu perjanjian perkawinan menurut UU No. 1/1974, mempunyai dua implikasi, yakni pemisahan harta bersama ataupun penyatuan harta bawaan suami istri. [5]
Perjanjian perkawinan diatur dalam Bab V dan ditempatkan hanya dalam satu pasal yaitu pasal 29 UU No.1/1974 yang terdiri dari empat ayat, bahwa:[6]
1)      Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2)      Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hokum, agama, dan kesusilaan
3)      Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4)      Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga
Pada prinsipnya perjanjian perkawinan ini yang menjadi sumber dari berbagai bentuk harta benda dalam perkawinan.[7] Berkaitan dengan substansi perjanjian perkawinan, pasal 29 UU No.1/1974 tidak mengatur secara tegas bahwa perjanjian perkawinan hanya terbatas pada harta perkawinan, sehingga secara implisit dapat ditafsirkan perjanjian perkawinan tersebut tidak terbatas hanya mengatur mengenai perkawinan saja.[8]
Batasan terhadap isi perjanjian perkawinan hanya disebutkan bahwa isinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, agama, dan kesusilaan. Hal yang terpenting juga bahwa isi dari perjanjian perkawinan ini yang mengenai harta perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga. UU No. 1/1974 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, ini berarti bahwa mengenai isinya diserahkan sepenuhnya kepada penafsiran pejabat-pejabat umum misalnya notaries atau para pihak sebagai pembuatnya dan hakim apabila terjadi sengketa dikemudian hari.[9]
Keterbatasan pengaturan perjanjian perkawinan ini membuat para pihak memiliki kebebasan untuk menyusun isinya serinci dan selengkap mungkin. Klausula perjanjian perkawinan yang melanggar hukum, kesusilaan, dan agama adalah batal demi hokum. Perjanjian yang melanggar norma-norma tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak ketiga, bahkan yang tidak terkait sekalipun.[10]
Pada prinsipnya, substansi perjanjian perkawinan terbatas mengenai kedudukan harta benda perkawinan. Meskipun suami atau istri tidak mengatur secara tegas hal-hal diluar harta benda perkawinan, norma agama, kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang juga mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Dengan catatan, bahwa pihak ketiga juga terikat dengan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri sebatas hanya mengenai harta benda. Hal-hal lain diluar pengaturan mengenai harta benda perkawinan, pihak ketiga tidak terikat terhadap segala akibat yang ditimbulkannya. Pihak ketiga juga dapat mengajukan pembatalan perjanjian perkawinan tersebut, terhadap seluruh isi atau sebagian klausula yang merugikan pihak ketiga.[11]
Perjanjian perkawinan dapat diubah selama perkawinan berlangsung dengan syarat atas dasar kesepakatan antara suami istri dan tidak boleh merugikan pihak ketiga. Apabila perubahan perjanjian perkawinan itu merugikan pihak ketiga maka pihak ketiga tidak terikat terhadap perubahan perjanjian perkawinan tersebut. Waktu pembuatan perjanjian perkawinan ini diatur dalam UU No.1/1974 secara implisit ditentukan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, begitu pula terhadap pihak ketiga.[12]
Bentuk dari perjanjian perkawinan tidak ditentukan secara tegas. Dapat dibuat dengan akta otentik atau cukup dibawah tangan. Perjanjian perkawinan harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya. Pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yaitu Pegawai Pencatat Nikah atau Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membantunya (penjelasan PP no. 9/ 1975), bagi mereka yang beragama islam harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi yang beragama selain Islam maka harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan SIpil.[13]
Akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan adalah batal, perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, sehingga berlakulah prinsip kedudukan harta benda dalam perkawinan (Pasal 35 UU No. 1/1974). Dengan demikian berarti terjadilah “pemisahan harta” atau kebersamaan harta benda hanya terbatas pada harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung yang bukan berasal dari hadiah/hibah atau warisan.[14]

B.2 Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi hukum Islam mengatur pada azasnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga suami (pasal 86 Kompilasi Hukum Islam). Namun, para pihak dapat mengadakan perjanjian mengenai kedudukan harta dalam perkawinan dengan membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan diatur dalam Buku I Bab VII mulai dari pasal 45-52. Istilah yang digunakan juga sama yaitu perjanjian perkawinan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa kedua calon suami istri ( dalam kompilasi hukum islam disebut mempelai) dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1.       Taklik Talak dan
2.       Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Berdasarkan kompilasi hukum Islam, perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.   Bentuk dari perjanjian perkawinan, Kompilasi Hukum Islam harus tertulis. Pengesahannya pun dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.[15]
Para calon mempelai juga dapat mengatur mengenai keberadaan harta perkawinan. Isi perjanjian tersebut dapat meliputi :
1.       Percampuran harta pribadi
2.       Pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum islam.
3.       Menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat
Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
Apabila isi perjanjian adalah memisahkan keseluruhan harta, maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan limitasi bahwa perjanjian yang mengatur mengenai  keberadaan harta juga tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Konsekuensi apabila hal ini dilanggar dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga. Isi perjanjian perkawinan yang terpenting adalah tidak melanggar atau bertentangan dengan hokum islam. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihadapan Pegawai pencatat nikah. Selanjutnya, perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami-istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pecatatan Nikah di tempat perkawinan berlangsung.[16]

C.      Putusnya Perkawinan
Pengertian Perceraian menurut Prof. Subekti  ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.[17]
Perkawinan dapat putus karena tiga hal :[18]
-          Karena kematian
-          Karena perceraian
-          Atas putusan pengadilan
Yang dimaksud dengan kematian adalah kematian salah satu pihak, suami atau istri atau kematian kedua-duanya secara sekaligus . yang dimaksud “atas putusan pengadilan” adalah yang menyangkut pembatalan perkawinandengan keputusan pengadilan. Cara pemutusan perkawinan yang lain adalah perceraian. Perceraian hanya dapat diputuskan setelah pengadilan berusaha untuk memperdamaikan suami dan istri yang bersangkutan dan perdamaian tersebut tidak berhasil. Usaha harus dilakukan untuk menyelamatkan perkawinan, sebab apabila perceraian akibatnya akan sangat luas yang akan berpengaruh kepada pendidikan anak-anak.
Alasan-alasan untuk bercerai adalah :[19]
a.       Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat, setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
f.        Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu :[20]
1.       Suami melanggar taklik talak dan
2.       Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga

Ada tiga macam perceraian[21]
1.       Perceraian yang dilakukan oleh seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang beragama islam
2.       Perceraian yang diajukan oleh seorang istri yang telah melangsungkan perkawinan menurut cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang beragama islam
3.       Perceraian yang diajukan kepada Pengadilan negeri oleh suami atau istri yang menikah di kantor catatan sipil
Ad.1 suami yang beragama islam yang hendak menceraikan istrinya mengajukan surat kepada Pengadilan tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia berkehendak untuk menceraikan istrinya disertai alas an-alasannya. Pengadilan akan mengadakan siding untuk menyaksikan perceraian. Perceraian semacam ini terjadi, terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan
Ad.2 perceraian ini diajukan oleh istri yang beragama Islam dengan suatu gugatan. Perceraian tersebut terjadi saat putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan yang pasti.
Ad.3 Bentuk perceraian ini dilakukan oleh suami atau istri yang menikah di hadapan kantor pencatatan sipil, caranya adalah dengan mengadakan gugatan perceraian kepada Pengadilan Negeri. Setelah memperoleh putusan yang sudah berkekuatan pasti, perceraian ini didaftarkan di kantor catatan sipil. Perceraian dianggap terjadi terhitung putusan tersebut didaftarkan.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pengadilan dapat mengijinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Juga selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat :
a.       Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami
b.      Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
c.       Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri
Selain itu setelah berceraipun, orangtua tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak-anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.
Apabila perkawinan putus karena perceraian atau dibatalkan oleh pengadilan waktu tunggu adalah 90 hari sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan yang pasti. Apabila sebelumnya telah terjadi hubungan kelamin, tidak ada waktu tunggu. Setelah perceraian terjadi sebaiknya harta benda suami istri dibagi secara musyawarah dan mufakat, apabila tidak dapat dilakukan secara demikian, dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri agar masing-masing pihak memperoleh bagiannya.bagian masing-masing pihak adalah setengah harta bersama, harta bawaan tetap milik masing-masing.
D.      Pengukuhan Putusan
Undang-undang Perkawinan mengharuskan bahwa setiap putusan pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Untuk itu setiap putusan Pengadilan Agama akan dikirimkan kepada Pengadilan Negeri.[22]
E.       Akibat Perceraian
Perceraian antara suami dan istri bukan hanya memutuskan ikatan perkawinan saja, lebih lanjut perkawinan juga melahirkan beberapa akibat seperti timbulnya pembagian harta bersama dan hak pengurusan anak.
E.1 Mengenai pengurusan anak
Pengurusan anak atau dikenal hadlonah. Hukum islam menyebutkan apabila terjadi perceraian antara suami dan istri, maka istri lah yang berhak mengasuh, mendidik, dan memelihara anak-anaknya selama anaknya belum mumayyiz.[23]

Pemisahan Kekayaan
Untuk melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadisi isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh isteri :[24]
a)      Apabila si suami dengan kelakuan yangnyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga
b)      Apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis
c)       Apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh si suami terhadap kekayaan isterinya.
Pemisahan kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan meletakkan persetujuan itu dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan sama seperti yang ditentukan untuk pengumuman putusan hakim dalam mengadakan pemisahan itu.[25]

Daftar Pustaka
Buku
Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Penjaminan Harta
Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, CV. Mandar Maju, Bandung . 2006
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo 1995)
Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2000.
Prof. Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI 1987
R. Soetojo Prawirohamidjojo. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2006, Cetakan IV, halaman 58 (selanjutnya disebut R. Soetojo I)
R. Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan. Hukum orang dan Keluarga (Personen en Familie-recht), Airlangga University Press, Surabaya, Cetakan ketiga, 2000, hal.64 (Selanjutnya disebut R Soetojo II)
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.Yogyakarta, PT. Liberty:2004 .

Jurnal Hukum
Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (LNRI no. 1, TLNRI No.3019)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (LNRI No.2, TLNRI No. 3050)
Kompilasi Hukum Islam



[1] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2000.
[2] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2000.
[3] Prof. Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, hal 41-42, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI 1987
[4] Abdul Manaf, Aplikasi asas equalitas Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, CV. Mandar Maju, Bandung, 2006. Hal. 24
[5] Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013
[6] Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
[7] R. Soetojo Prawirohamidjojo. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2006, Cetakan IV, halaman 58 (selanjutnya disebut R. Soetojo I)
[8] Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013
[9] R. Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Hukum orang dan Keluarga (Personen en Familie-recht), Airlangga University Press, Surabaya, Cetakan ketiga, 2000, hal.64 (Selanjutnya disebut R Soetojo II)
[10] Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013

[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, Jurnal Hukum, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2013
[17] Prof. Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, hal 42, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI 1987
[18] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2000.

[19] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2000.
[20] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo 1995)
[21] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2000.

[22] Ny.Retnowulan Sutantio, S.H. Wanita dan Hukum : Himpunan karangan hukum yang penting bagi kaum wanita. Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2000.
[23] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.Yogyakarta, PT. Liberty:2004 . hal. 103
[24] Prof. Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, hal 46, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI 1987
[25] Prof. Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, hal 47, PT.Intermasa, Jakarta. Cetakan XXI 1987

Tidak ada komentar:

Posting Komentar