Selasa, 14 Mei 2013

PERKEMBANGAN SERTA HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA KEPRESIDENAN DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DI INDONESIA



PERKEMBANGAN SERTA HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA KEPRESIDENAN DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DI INDONESIA
Dosen:
Dr. Ali Abdurrahman, S.H, M.H dan Rahayu Prasetyaningsih S.H, M.H


Disusun oleh :
Mega Meirina
110110100270



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2012
1.1   Latar belakang
Di antara lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, Lembaga kepresidenan dan Dewan Perwakilan Rakyat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs). Karena pada hakikatnya lembaga kepresidenan menjalankan kekuasaan eksekutif/ pemerintahan, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan kekuasaan Legislatif/ perundang-undangan. Berdasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, di Indonesia yang memimpin dan memegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden. Oleh karena itu berkaitan pula dengan sistem pemerintahan Presidensil yang menjadi ciri pemerintahan di Indonesia, yang menempatkan DPR sebagai partner eksekutif dan berdasarkan pasal 7 poin c UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya pula DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Hal ini berarti DPR dengan Presiden harus bekerja bersama. Sejak Pra/Pasca Amandemen UUD 1945, DPR dan Presiden saling terhubung satu sama lain untuk kepentingan rakyat banyak dan tercipta jalannya pemerintahan yang efektif.  
1.2 Perumusan masalah
1)       Teori-teori apa sajakah yang mempengaruhi adanya  sistem pemerintahan Presidensil yang diterapkan di Indonesia serta mengenai pemisahan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara ?
2)       Apa sajakah kewenangan yang dimiliki oleh Presiden yang ada kaitannya dengan DPR dan begitu pula sebaliknya ?
3)       Bagaimana perkembangan serta hubungan antara lembaga kepresidenan dengan DPR ?

2.1  Uraian teoritis
Menurut  ajaran sistem pemerintahan. Dalam konsep dasarnya, sistem pemerintahan dibedakan antara sistem parlementer dan sistem presidensil. Sistem pemerintahan parlementer menampakkan berbagai ciri utama. Pertama, ada dua kelembagaan eksekutif, yaitu eksekutif yang menjalankan dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan dan eksekutif yang tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan.  Eksekutif pertama ada ditangan kabinet atau dewan menteri. Eksekutif kedua adalah kepala negara, yaitu raja bagi kerajaan dan presiden bagi republik. Pertanggungjawaban eksekutif kedua dilaksanakan oleh eksekutif pertama. C.F Strong menyebut real executive bagi eksekutif yang menjalankan dan bertanggungjawab atas jalannya pemerintahan dan nominal executive bagi eksekutif yang tidak dapat diminta pertanggungjawaban dalam menjalankan  pemerintahan. Kedua, kabinet atau dewan menteri bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat, sedangkan kepala negara tidak dapat diganggu gugat (can do no wrong). Maksud bertanggungjawab adalah eksekutif tersebut dapat dijatuhkan dengan mosi tidak percaya oleh badan perwakilan rakyat. Sementara itu, sistem pemerintahan presidensil hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi kepala pemerintahan (chief executive) dan kepala negara (head of state) ada pada satu tangan dan tunggal (single executive). Pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam sistem pemerintahan presidensil tidak bertanggungjawab kepada kepada badan perwakilan rakyat, tetapi langsung kepada rakyat pemilih karena dipilih langsung atau dipilih badan pemilih. [1]
Bukti bahwa Indonesia menganut Sistem Presidensil, yakni mengenai kekuasaan Presiden dalam sistem UUD 1945 menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang kuat dan stabil. UUD 1945 menggunakan prinsip-prinsip:[2]
·         Sistem eksekutif tunggal bukan kolegial. Dengan sistem ini penyelenggaraan dan kendali pemerintahan ada pada satu tangan, yaitu Presiden (Pasal 4 ayat 1)
·         Presiden adalah penyelenggara pemerintahan (Chief executive), disamping sebagai kepala negara (head of state).
·         Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada MPR (penjelasan UUD 1945)
·         Menurut pasal 5 UUD 1945, Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat UU). Juga dalam pasal 22, bahkan dengan alasan kepentingan yang memaksa, presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (Perpu) yang sederajat dengan Undang-undang.
·         Presiden dapat menolak mengesahkan RUU yang telah disetujui DPR. Hak tolak ini bersifat mutlak tanpa suatu mekanisme balances. Untuk menunjukkan kehendak DPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat adalah yang supreme. 
Selain itu, ada juga mengenai ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers). Pembagian kekuasaan bertujuan untuk membatasi kekuasaan badan-badan atau pejabat penyelenggara negara dalam batas-batas cabang kekuasaan masing-masing. Dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut dapat dicegah penumpukan kekuasaan di satu tangan (absolut) yang akan menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan sewenang-wenang. Dalam praktik ajaran pemisahan kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen. Selain tidak praktis, pemisahan secara absolut antara cabang –cabang kekuasaan yang meniadakan sistem pengawasan atau keseimbangan antara cabang kekuasaan yang satu dan yang lain dapat menimbulkan kesewenag-wenangan menurut atau di dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Pemikiran mengenai mekanisme saling mengawasi dan kerjasama ini telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ dan teori “checks and balances”. Meskipun prinsip ajaran pemisahan kekuasaan tetap dijalankan dengan organ-organ negara yang disusun secara terpisah dan disertai dengan kekuasaan yang terpisah pula. Hanya dengan mekanisme “checks and balances” dapat dicegah masing-masing cabang kekuasaan menyalahgunakan kekuasaannya atau bertindak sewenang-wenang. Tanpa “checks and balaces” dari cabang kekuasaan yang lain eksekutif dapat menjalankan kekuasaan yang sewenang-wenang. [3]
Wewenang Presiden yang berkaitan dengan DPR yaitu:[4]
·         Kekuasaan Membentuk Undang-Undang, menurut pasal 5 ayat 1 UUD 1945, Presiden membentuk UU harus diartikan bahwa Presiden mempunyai hak inisiatif disamping hak inisiatif yang ada pada DPR. Presiden turut serta dalam pembahasan RUU di DPR. Dalam pembentukan UU ada 4 bentuk keikutsertaan Presiden , yaitu : 1. menyusun rancangan melalui menteri untuk memperoleh persetujuan DPR, 2. keikutsertaan presiden dalam pembahasan RUU di DPR diwakili oleh menteri ini makin mencerminkan bahwa UU adalah produk bersama antara Presiden dan DPR, 3. Presiden dapat menolak mengesahkan RUU yang sudah disetujui di DPR ada di dalam pasal 21 ayat (2) UUD 1945, 4. Pengesahan dan pemuatan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara.
·         Kekuasaan Membentuk Peraturan Pemerintah, diatur dalam pasal 5 ayat 2 UUD 1945. Presiden menetapkan PP hanya untuk melaksanakan/didasarkan pada UU tertentu.
·         Kewenangan Menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu). Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP yang ditetapkan dalam hal kegentingan yang memaksa. UUD 1945 mengatur batas waktu berlakunya Perpu, harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika DPR menolak memberikan persetujuan maka Perpu harus dicabut.
·         Kekuasaan Mengadakan Perjanjian dengan negara lain, diadakan harus dengan persetujuan DPR (Pasal 11 UUD 1945).
·         Kekuasaan Menyatakan Perang dengan Negara Lain,  memerlukan persetujuan DPR. Persetujuan DPR menyatakan perang akan disertai pula dengan kewenangan khusus untuk memungkinkan Presiden membuat keputusan atau tindakan yang menyimpangi ketentuan-ketentuan yang berlaku yang tidak dapat dilakukan presiden dalam keadaan normal.[5]
Sedangkan, berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPR mempunyai tugas dan wewenang yang berkaitan dengan Presiden yaitu :
·         membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama[6]
·         memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang[7]
·         membahas rancangan undang-undang bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden[8]
·         membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden[9]
·         membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.[10]
·         memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.[11]
·         memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi[12]
·         memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain[13]
·         memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial[14]
·         memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden[15]
·         memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden[16]

3.1 Pembahasan
Perkembangan serta hubungan antara DPR dengan Presiden
Di Indonesia sendiri pernah terjadi  masa revolusi kemerdekaan, yaitu pada tahun 1945-1950 yang memberlakukan sistem pemerintahan campuran, dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945 terjadi pergeseran kekuasaan legislatif, yaitu dari Presiden kepada Badan Pekerja KNIP (istilah DPR pada masa itu).
Maklumat Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 mencakup dua hal. Pertama adalah izin pembentukan Partai Negara yang merupakan partai tunggal, dibatalkan. Masalah kedua yang menjadi tujuan dari Maklumat Wakil Presiden itu adalah pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai pengganti DPR/MPR. Tujuannya adalah "division of power" sehingga kewenangan DPR dan  MPR tidak lagi dirangkap oleh Presiden. Kemudian, mulai tanggal 1 November 1945, kabinet bertanggung jawab kepada Badan Pekeja KNIP sehingga dalam prakteknya yang terjadi adalah sistem parlementer di mana Badan Pekerja KNIP berperan sebagai Parlemen. Berlangsungnya sistem Parlementarisme dalam konteks UUD 1945 yang Presidensial itu memang menimbulkan instabilitas karena nasib kabinet oleh BP KNIP bukan oleh Presiden.[17]
Perubahan status KNIP, tidak saja terkait dengan perubahan sistem pemerintahan presidensil menjadi parlementer (Presiden bertanggung jawab kepada KNIP). tetapi, bersama-sama Presiden membentuk undang-undang (dimulai dengan UU no 1 Tahun 1945 yang mengatur Pemerintahan Daerah).[18]
Sedangkan pada masa orde baru. Peran DPR disini inisiatif pribadi anggota sangat dihargai dan dibutuhkan, khususnya dalam hak legislasi dan hak kontrol. Dalam hak legislasi terjadi tawar menawar yang dinamis antara Presiden/pemerintah dengan DPR begitu pula dengan hak kontrol. Selain pelaksanaan kedua wewenang DPR tersebut, pelaksanaan hak budget jauh lebih memadai. Walaupun ada pembahasan dan perbaikan teknis secara umum, budget yang diajukan pemerintah tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini terasa setelah dibandingkan dengan hak budget yang dimiliki panitia anggaran yang bisa membahas dan mengubah pos-pos budget lembaga-lembaga pemerintah secara ekstrim, juga menyebabkan bubarnya DPR hasil pemilu 1955 pada zaman Pemerintahan Presiden Soekarno.[19]  
Walaupun peran eksekutif pada zaman Presiden Soeharto begitu kuat, itu pula yang menyebabkan kurang berjalannya fungsi kontrol DPR, khususnya terhadap sistem moneter dan perbankan yang menimbulkan krisis ekonomi. Berkaca pada pengalaman ini lah pakar hukum dan politik Indonesia menyetujui amandemen 1945 yang membatasi kekuasaan eksekutif dan meningkatkan kekuasaan DPR. Krisis moneter itu juga yang membuat lengsernya Presiden Soeharto. Dalam proses pengunduran diri beliau, DPR mempunyai andil besar berupa legitimasi konstitusional dengan cara mengajukan ultimatum pengunduran diri kepada Presiden Soeharto yang disampaikan tim pimpinan DPR/MPR.[20]
Selain itu, yang perlu dianalisis dalam praktek ketatanegaraan di masa Presiden Soeharto, ketentuan yang menimbulkan persoalan adalah: Pertama, kekuasaan Presiden menjadi begitu kuat, termasuk menentukan isi suatu undang-undang. Tidak jarang perbedaan pendapat antara fraksi di DPR atau antara DPR dengan pemerintah mengenai naskah suatu RUU, diselesaikan dengan menuruti kehendak Presiden baik dengan cara mengatakan ini kehendak atau pesan Presiden, atau setelah menghadap Presiden. Kedua, ketentuan ini sangat mengendurkan kemauan DPR untuk menggunakan hak inisiatif mengajukan RUU, walaupun hak ini ditegaskan dalam penjelasan: ...Pun Dewan mempunyai hak inisiatif untuk menetapkan undang-undang. Ketiga, seolah-olah setiap RUU harus disetujui dan DPR harus menyetujui sesuai kehendak Pemerintah khususnya Presiden. Tidak berarti dalam praktek, tidak ada perubahan-perubahan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden. Sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan kehendak Presiden, perubahan dapat saja terjadi. Pada masa Presiden Soeharto RUU penyiaran yang sudah disetujui DPR bersama menteri yang mewakili Pemerintah, dikembalikan Presiden dan kemudian diubah sesuai kehendak Presiden.[21]   
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diadakan perubahan memberikan kekuasaan yang besar atau dominan kepada eksekutif (Presiden). Akibatnya melahirkan pemerintahan otoriter, sehingga UUD 1945 dikenal dengan executive heavy. UUD 1945 executive heavy yang dipraktikkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (1959-1967) dan Presiden Soeharto (19674-1998) mengakibatkan organ legislatif dan yudisial tidak dapat mengimbangi dominasi kekuasaan eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan undang-undang”. Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945). Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 ayat (1)). Dengan UUD 1945 yang executive heavy pada masa pemerintahan Soekarno, Presiden mendominasi kekuasaan terbukti dengan bongkar pasang kabinet, para pemimpin lembaga tertinggi dan tinggi negara diberi status menteri sebagai pembantu Presiden yang berarti legislatif di bawah kekuasaan dan kontrol eksekutif. Begitupula pada masa pemerintahan Soeharto yang bertekad “melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”, yang dalam kenyataannya tidak lebih baik dari masa pemerintahan Presiden Soekarno. Praktik pemerintahan dari dua masa pemerintahan tersebut memperlihatkan dominasi kekuasaan Presiden yang sangat kuat sehingga praktik ketatanegaraan pada masa pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1967) dan Soeharto (1967-1988) tidak menciptakan atau membuat tradisi pengawasan dan keseimbangan antara lembaga negara, khususnya pengawasan antara legislatif dan eksekutif sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.[22]
Di masa lalu, sebelum UUD 1945 diadakan perubahan, penerapan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh MPR dan mekanisme checks and balances yang tidak jelas telah menimbulkan kecenderungan kepada arah sentralisasi kekuasaan oleh pihak eksekutif. Akibatnya, peran DPR sebagai alat kontrol atau pengawas terhadap eksekutif menjadi sangat lemah.[23]
Pada Zaman Reformasi saat ini, dengan adanya perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan.  Sehingga berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukan pembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut. Berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang melibatkan fungsi DPR dan Presiden, terdapat berbagai landasan pengaturan baru dalam UUD 1945 (setelah perubahan) antara lain sebagai berikut:[24]
a)      beralihnya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR (Pasal 20 ayat (1) walaupun setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (Pasal 20 ayat (2))
b)      kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (Pasal 20 ayat (4))
c)       sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30 hari sejak persetujuan bersama atas rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidak disahkan oleh Presiden (Pasal 20 ayat 5))
d)     kewajiban mengundangkan undang-undang. (Pasal 20 ayat (5))
e)      adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tata cara pembentukan undang-undang (Pasal 22A)) dan,
f)       tugas pengundangan peraturan perundang-undangan diserahkan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. (Pasal 48)
Untuk memulihkan kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dan dalam rangka checks and balances, diadakanlah perubahan. Namun, ketentuan ini menunjukkan bahwa meskipun ada perubahan, tidak berarti ada pemisahan kekuasaan (separation of power) antara DPR dengan Presiden dalam membentuk Undang-undang. Yang ada adalah pembagian kekuasaan (distribution of power) dan mencerminkan pula kekuasaan membentuk undang-undang dilakukan bersama-sama dilakukan oleh DPR dan Presiden.[25]
Dalam hal checks and balances yang menyangkut fungsi legislasi, disini presiden berperan sebagai co-legislator sedangkan DPR menjadi legislator yang utama. Karena wewenang utama pembentukan Undang-Undang ada pada DPR. Selain itu yang menyangkut fungsi pengawasan, disini DPR mengawasi Presiden dalam menjalankan pemerintahan/kekuasaan. Pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh DPR tidak terpaku harus setelah Presiden melakukan/membuat sesuatu tetapi juga dalam hal sebelum presiden melakukan sesuatu. Misalnya, dalam hal perencanaan pembangunan dan perencanaan penetapan alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat banyak dan jalannya pemerintahan.
Peran pengawasan dalam penjelasan UUD 1945, disebut “DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden..”. Kedudukan DPR adalah kuat. Dewan tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya merangkap jadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden. Dengan demikian dalam hal pengawasan, hubungan DPR dan Presiden boleh dikatakan adalah bersifat sepihak. Hanya DPR lah yang secara konstitusional mempunyai hak untuk mengawasi Presiden. [26] 
Perubahan UUD 1945 telah memberikan posisi yang kuat terhadap lembaga pengawas. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 mempunyai arti sangat penting karena akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengusulkan kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana ketentuan Pasal 7 A UUD 1945 yang dapat berakibat Presiden dan atau Wakil Presiden diberhentikan.[27]
Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, persetujuan DPR tidak hanya diberikan dalam kaitannya dengan pernyataan perang dan membuat perdamaian, melainkan juga dalam membuat perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 11. Perubahan UUD 1945 pun mengharuskan Presiden untuk meminta persetujuan DPR manakala mengangkat duta dan bahkan menerima duta negara lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3). Demikian pula halnya dengan memberi grasi, amnesti, tanda jasa serta abolisi dan berbagai gelar serta tanda jasa lainnya, Presiden tidak mungkin lagi bertindak tanpa pengawasan DPR, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUD 1945.[28]

4.1 Kesimpulan
Dalam perkembangannya, sebelum perubahan UUD 1945 tidak disebutkan secara khusus pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap Presiden, sehingga posisi DPR pada masa itu lemah karena yang lebih dominan adalah kekuasaan Presiden/eksekutif nya.  Dengan adanya amandemen UUD 1945 yang berlaku saat ini, kekuasaan Presiden dibatasi  misalnya dalam hal pembentukan Undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR. Dalam hal tertentu juga Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Dan pengaturan sistem checks and balances antara DPR dengan Presiden pada masa pasca perubahan UUD 1945 sudah cukup memadai.

4.2 Saran
Sesuai amanat konstitusi diharapkan eksekutif/Presiden dapat menciptakan hubungan kerja yang kondusif dengan DPR dan juga eksekutif sebagaimana diamanatkan konstitusi harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Selain itu harus lah ada pengawasan yang efektif juga dari DPR terhadap Presiden.






Daftar Pustaka
Buku
Manan, Bagir. 1999. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: Gama Media
Manan, Bagir. 2005. DPR,DPD, dan MPR dalam UUD 1945Baru. Cetakan ketiga. Yogyakarta: FH-UII Press
Ranawijaya, Usep. 1983. Hukum Tata Negara Indonesia,dasar-dasarnya, Cetakan Pertama. Jakarta: Ghalia Indonesia
Soemantri, Sri. 1989. Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945, Cetakan keenam. Bandung: PT.Alumni
Thaib, Dahlan. 2000. DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Edisi kedua. Yogyakarta: Liberty

Jurnal dan Artikel Hukum
Prof. Dr. Gani Abdullah, S.H. Jurnal/artikel hukum, Pengantar Memahami Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Burhan D Magenda, Jurnal Fisip UI, Dinamika Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Dalam Politik Ketatanegaraan Indonesia.
M. Arsyad Mawardi, JURNAL HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI.


Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No. 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.





[1] Hal. 15-17, Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999.
[2] Hal. 115-116, Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999.

[3] Hal. 9-10, Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999.
[4] Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999
[5] Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999
[6] Pasal 71 point a UU no.27 tahun 2009
[7] Pasal 71 point b UU no.27 tahun 2009

[8] Pasal 71 point d UU no.27 tahun 2009
[9] Pasal 71 point e UU no.27 tahun 2009

[10] Pasal 71 point g UU no.27 tahun 2009
[11] Pasal 71 point j UU no.27 tahun 2009
[12] Pasal 71 point k UU no.27 tahun 2009
[13] Pasal 71 point l UU no.27 tahun 2009
[14] Pasal 71 point o UU no.27 tahun 2009

[15] Pasal 71 point p UU no.27 tahun 2009
[16] Pasal 71 point q UU no.27 tahun 2009
[17] Jurnal Fisip UI, Burhan D Magenda, Dinamika Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Dalam Politik Ketatanegaraan Indonesia
[18] Hal.9, Prof. Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 baru, cetakan ketiga, FH-UII Press, Yogyakarta, 2005

[19] Jurnal Fisip UI, Burhan D Magenda, Dinamika Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Dalam Politik Ketatanegaraan Indonesia
[20] Jurnal Fisip UI, Burhan D Magenda, Dinamika Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Dalam Politik Ketatanegaraan Indonesia

[21] Hal.23, Prof. Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 baru, cetakan ketiga, FH-UII Press, Yogyakarta, 2005

[22] M. Arsyad Mawardi, JURNAL HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI

[23] M. Arsyad Mawardi, JURNAL HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI

[24] Jurnal/artikel hukum, Pengantar Memahami Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Prof. Dr. Gani Abdullah, S.H
[25]  Hal.24, Prof. Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 baru, cetakan ketiga, FH-UII Press, Yogyakarta, 2005
[26] Hal. 54, Dahlan Thaib, S.H,M.Si, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia edisi kedua, Liberty, Yogyakarta, 2000
[27] M. Arsyad Mawardi, JURNAL HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI


[28] M. Arsyad Mawardi, JURNAL HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar