PERKEMBANGAN SERTA HUBUNGAN
ANTARA LEMBAGA KEPRESIDENAN DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DI INDONESIA
Dosen:
Dr. Ali Abdurrahman, S.H,
M.H dan Rahayu Prasetyaningsih S.H, M.H 
Disusun oleh :
Mega Meirina
110110100270
FAKULTAS HUKUM 
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2012
1.1  
Latar belakang
Di antara lembaga-lembaga negara
yang disebutkan dalam UUD 1945, Lembaga kepresidenan dan Dewan Perwakilan
Rakyat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional
organs). Karena pada hakikatnya lembaga kepresidenan menjalankan kekuasaan
eksekutif/ pemerintahan, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan
kekuasaan Legislatif/ perundang-undangan. Berdasarkan
pasal 4 ayat (1) UUD 1945, di Indonesia yang memimpin dan memegang kekuasaan
pemerintahan adalah presiden. Oleh karena itu berkaitan pula dengan sistem
pemerintahan Presidensil yang menjadi ciri pemerintahan di Indonesia, yang
menempatkan DPR sebagai partner eksekutif dan berdasarkan pasal 7 poin c UUD
1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya pula DPR tidak dapat
menjatuhkan Presiden. Hal ini berarti DPR dengan Presiden harus bekerja
bersama. Sejak Pra/Pasca Amandemen UUD 1945, DPR dan Presiden saling terhubung
satu sama lain untuk kepentingan rakyat banyak dan tercipta jalannya
pemerintahan yang efektif.   
1.2 Perumusan masalah
1)      
Teori-teori apa sajakah
yang mempengaruhi adanya  sistem
pemerintahan Presidensil yang diterapkan di Indonesia serta mengenai pemisahan
kekuasaan dalam penyelenggaraan negara ?
2)      
Apa sajakah kewenangan
yang dimiliki oleh Presiden yang ada kaitannya dengan DPR dan begitu pula
sebaliknya ?
3)      
Bagaimana perkembangan
serta hubungan antara lembaga kepresidenan dengan DPR ?
2.1 
Uraian
teoritis
Menurut  ajaran sistem pemerintahan. Dalam
konsep dasarnya, sistem pemerintahan dibedakan antara sistem parlementer dan
sistem presidensil. Sistem pemerintahan parlementer menampakkan berbagai ciri
utama. Pertama, ada dua kelembagaan eksekutif, yaitu eksekutif yang menjalankan
dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan dan eksekutif yang
tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan.  Eksekutif pertama ada ditangan kabinet atau
dewan menteri. Eksekutif kedua adalah kepala negara, yaitu raja bagi kerajaan
dan presiden bagi republik. Pertanggungjawaban eksekutif kedua dilaksanakan
oleh eksekutif pertama. C.F Strong menyebut real
executive bagi eksekutif yang menjalankan dan bertanggungjawab atas
jalannya pemerintahan dan nominal
executive bagi eksekutif yang tidak dapat diminta pertanggungjawaban dalam
menjalankan  pemerintahan. Kedua, kabinet
atau dewan menteri bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat, sedangkan
kepala negara tidak dapat diganggu gugat (can
do no wrong). Maksud bertanggungjawab adalah eksekutif tersebut dapat
dijatuhkan dengan mosi tidak percaya oleh badan perwakilan rakyat. Sementara
itu, sistem pemerintahan presidensil hanya mengenal satu macam eksekutif.
Fungsi kepala pemerintahan (chief
executive) dan kepala negara (head of
state) ada pada satu tangan dan tunggal (single executive). Pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam
sistem pemerintahan presidensil tidak bertanggungjawab kepada kepada badan
perwakilan rakyat, tetapi langsung kepada rakyat pemilih karena dipilih
langsung atau dipilih badan pemilih. [1]
Bukti bahwa Indonesia menganut Sistem Presidensil,
yakni mengenai kekuasaan Presiden dalam sistem UUD 1945 menghendaki suatu
penyelenggaraan pemerintahan yang kuat dan stabil. UUD 1945 menggunakan
prinsip-prinsip:[2]
·        
Sistem eksekutif
tunggal bukan kolegial. Dengan sistem ini penyelenggaraan dan kendali
pemerintahan ada pada satu tangan, yaitu Presiden (Pasal 4 ayat 1)
·        
Presiden adalah
penyelenggara pemerintahan (Chief
executive), disamping sebagai kepala negara (head of state). 
·        
Presiden tidak
bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada MPR (penjelasan UUD 1945)
·        
Menurut pasal 5 UUD
1945, Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri
dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping
wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat UU). Juga dalam pasal 22, bahkan
dengan alasan kepentingan yang memaksa, presiden dapat menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (Perpu) yang sederajat dengan Undang-undang.
·        
Presiden dapat menolak
mengesahkan RUU yang telah disetujui DPR. Hak tolak ini bersifat mutlak tanpa
suatu mekanisme balances. Untuk
menunjukkan kehendak DPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat adalah yang
supreme.  
Selain itu, ada juga mengenai ajaran pemisahan kekuasaan (separation
of powers). Pembagian kekuasaan bertujuan untuk membatasi kekuasaan
badan-badan atau pejabat penyelenggara negara dalam batas-batas cabang
kekuasaan masing-masing. Dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut dapat
dicegah penumpukan kekuasaan di satu tangan (absolut) yang akan menimbulkan
penyelenggaraan pemerintahan sewenang-wenang. Dalam praktik ajaran pemisahan
kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen. Selain tidak praktis,
pemisahan secara absolut antara cabang –cabang kekuasaan yang meniadakan sistem
pengawasan atau keseimbangan antara cabang kekuasaan yang satu dan yang lain
dapat menimbulkan kesewenag-wenangan menurut atau di dalam lingkungan
masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Pemikiran mengenai mekanisme saling
mengawasi dan kerjasama ini telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran
pemisahan kekuasaan yaitu teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi
pemerintahan, bukan pada pemisahan organ dan teori “checks and balances”. Meskipun prinsip ajaran pemisahan kekuasaan
tetap dijalankan dengan organ-organ negara yang disusun secara terpisah dan
disertai dengan kekuasaan yang terpisah pula. Hanya dengan mekanisme “checks and balances” dapat dicegah
masing-masing cabang kekuasaan menyalahgunakan kekuasaannya atau bertindak
sewenang-wenang. Tanpa “checks and
balaces” dari cabang kekuasaan yang lain eksekutif dapat menjalankan
kekuasaan yang sewenang-wenang. [3]
Wewenang Presiden yang berkaitan dengan DPR yaitu:[4]
·        
Kekuasaan
Membentuk Undang-Undang, menurut pasal 5 ayat
1 UUD 1945, Presiden membentuk UU harus diartikan bahwa Presiden mempunyai hak
inisiatif disamping hak inisiatif yang ada pada DPR. Presiden turut serta dalam
pembahasan RUU di DPR. Dalam pembentukan UU ada 4 bentuk keikutsertaan Presiden
, yaitu : 1. menyusun rancangan melalui menteri untuk memperoleh persetujuan
DPR, 2. keikutsertaan presiden dalam pembahasan RUU di DPR diwakili oleh
menteri ini makin mencerminkan bahwa UU adalah produk bersama antara Presiden
dan DPR, 3. Presiden dapat menolak mengesahkan RUU yang sudah disetujui di DPR
ada di dalam pasal 21 ayat (2) UUD 1945, 4. Pengesahan dan pemuatan dalam
Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara.
·        
Kekuasaan
Membentuk Peraturan Pemerintah, diatur dalam
pasal 5 ayat 2 UUD 1945. Presiden menetapkan PP hanya untuk
melaksanakan/didasarkan pada UU tertentu.
·        
Kewenangan
Menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP yang ditetapkan dalam hal kegentingan yang
memaksa. UUD 1945 mengatur batas waktu berlakunya Perpu, harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika DPR menolak memberikan
persetujuan maka Perpu harus dicabut. 
·        
Kekuasaan
Mengadakan Perjanjian dengan negara lain,
diadakan harus dengan persetujuan DPR (Pasal 11 UUD 1945).
·        
Kekuasaan
Menyatakan Perang dengan Negara Lain,  memerlukan persetujuan DPR. Persetujuan DPR
menyatakan perang akan disertai pula dengan kewenangan khusus untuk
memungkinkan Presiden membuat keputusan atau tindakan yang menyimpangi ketentuan-ketentuan
yang berlaku yang tidak dapat dilakukan presiden dalam keadaan normal.[5] 
Sedangkan, berdasarkan Undang-Undang No.
27 tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPR mempunyai
tugas dan wewenang yang berkaitan dengan Presiden yaitu :
·        
membentuk undang-undang
yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama[6] 
·        
memberikan persetujuan
atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti
undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang[7]
·        
membahas rancangan
undang-undang bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden[8]
·        
membahas rancangan
undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya,serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan
DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden[9]
·        
membahas bersama
Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan
undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.[10]
·        
memberikan persetujuan
kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang.[11]
·        
memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi[12]
·        
memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta
besar negara lain[13]
·        
memberikan persetujuan
kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial[14]
·        
memberikan persetujuan
calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden[15]
·        
memilih 3 (tiga) orang
hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan
keputusan Presiden[16]
3.1 Pembahasan
Perkembangan serta hubungan
antara DPR dengan Presiden
Di Indonesia sendiri pernah terjadi  masa revolusi kemerdekaan, yaitu pada tahun
1945-1950 yang memberlakukan sistem pemerintahan campuran, dengan adanya
Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945 terjadi pergeseran
kekuasaan legislatif, yaitu dari Presiden kepada Badan Pekerja KNIP (istilah
DPR pada masa itu). 
Maklumat Nomor X tanggal 16 Oktober 1945
mencakup dua hal. Pertama adalah izin pembentukan Partai Negara yang merupakan
partai tunggal, dibatalkan. Masalah kedua yang menjadi tujuan dari Maklumat
Wakil Presiden itu adalah pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
sebagai pengganti DPR/MPR. Tujuannya adalah "division of power" sehingga kewenangan DPR dan  MPR tidak lagi dirangkap oleh Presiden.
Kemudian, mulai tanggal 1 November 1945, kabinet bertanggung jawab kepada Badan
Pekeja KNIP sehingga dalam prakteknya yang terjadi adalah sistem parlementer di
mana Badan Pekerja KNIP berperan
sebagai Parlemen. Berlangsungnya sistem Parlementarisme dalam konteks UUD 1945
yang Presidensial itu memang menimbulkan instabilitas karena nasib kabinet oleh
BP KNIP bukan oleh Presiden.[17]
Perubahan status KNIP, tidak saja
terkait dengan perubahan sistem pemerintahan presidensil menjadi parlementer
(Presiden bertanggung jawab kepada KNIP). tetapi, bersama-sama Presiden
membentuk undang-undang (dimulai dengan UU no 1 Tahun 1945 yang mengatur
Pemerintahan Daerah).[18]
Sedangkan pada masa orde baru. Peran DPR
disini inisiatif pribadi anggota sangat dihargai dan dibutuhkan, khususnya
dalam hak legislasi dan hak kontrol. Dalam hak legislasi terjadi tawar menawar
yang dinamis antara Presiden/pemerintah dengan DPR begitu pula dengan hak
kontrol. Selain pelaksanaan kedua wewenang DPR tersebut, pelaksanaan hak budget
jauh lebih memadai. Walaupun ada pembahasan dan perbaikan teknis secara umum,
budget yang diajukan pemerintah tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini
terasa setelah dibandingkan dengan hak budget yang dimiliki panitia anggaran
yang bisa membahas dan mengubah pos-pos budget lembaga-lembaga pemerintah
secara ekstrim, juga menyebabkan bubarnya DPR hasil pemilu 1955 pada zaman
Pemerintahan Presiden Soekarno.[19]  
Walaupun peran eksekutif pada zaman Presiden
Soeharto begitu kuat, itu pula yang menyebabkan kurang berjalannya fungsi
kontrol DPR, khususnya terhadap sistem moneter dan perbankan yang menimbulkan
krisis ekonomi. Berkaca pada pengalaman ini lah pakar hukum dan politik
Indonesia menyetujui amandemen 1945 yang membatasi kekuasaan eksekutif dan
meningkatkan kekuasaan DPR. Krisis moneter itu juga yang membuat lengsernya
Presiden Soeharto. Dalam proses pengunduran diri beliau, DPR mempunyai andil
besar berupa legitimasi konstitusional dengan cara mengajukan ultimatum
pengunduran diri kepada Presiden Soeharto yang disampaikan tim pimpinan
DPR/MPR.[20]
Selain itu, yang perlu dianalisis dalam
praktek ketatanegaraan di masa Presiden Soeharto, ketentuan yang menimbulkan
persoalan adalah: Pertama, kekuasaan
Presiden menjadi begitu kuat, termasuk menentukan isi suatu undang-undang.
Tidak jarang perbedaan pendapat antara fraksi di DPR atau antara DPR dengan
pemerintah mengenai naskah suatu RUU, diselesaikan dengan menuruti kehendak
Presiden baik dengan cara mengatakan ini kehendak
atau pesan Presiden, atau setelah menghadap Presiden. Kedua, ketentuan ini sangat mengendurkan kemauan DPR untuk
menggunakan hak inisiatif mengajukan RUU, walaupun hak ini ditegaskan dalam
penjelasan: ...Pun Dewan mempunyai hak
inisiatif untuk menetapkan undang-undang. Ketiga, seolah-olah setiap RUU harus disetujui dan DPR harus
menyetujui sesuai kehendak Pemerintah khususnya Presiden. Tidak berarti dalam
praktek, tidak ada perubahan-perubahan terhadap RUU yang diajukan oleh
Presiden. Sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan kehendak Presiden,
perubahan dapat saja terjadi. Pada masa Presiden Soeharto RUU penyiaran yang
sudah disetujui DPR bersama menteri yang mewakili Pemerintah, dikembalikan
Presiden dan kemudian diubah sesuai kehendak Presiden.[21]   
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
diadakan perubahan memberikan kekuasaan yang besar atau dominan kepada
eksekutif (Presiden). Akibatnya melahirkan pemerintahan otoriter, sehingga UUD 1945
dikenal dengan executive heavy. UUD
1945 executive heavy yang
dipraktikkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (1959-1967) dan Presiden
Soeharto (19674-1998) mengakibatkan organ legislatif dan yudisial tidak dapat
mengimbangi dominasi kekuasaan eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat
ditetapkan dengan undang-undang”. Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1) UUD
1945). Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(Pasal 20 ayat (1)). Dengan UUD 1945 yang executive
heavy pada masa pemerintahan Soekarno, Presiden mendominasi kekuasaan
terbukti dengan bongkar pasang kabinet, para pemimpin lembaga tertinggi dan
tinggi negara diberi status menteri sebagai pembantu Presiden yang berarti
legislatif di bawah kekuasaan dan kontrol eksekutif. Begitupula pada masa
pemerintahan Soeharto yang bertekad “melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen”, yang dalam kenyataannya tidak lebih baik dari masa pemerintahan
Presiden Soekarno. Praktik pemerintahan dari dua masa pemerintahan tersebut
memperlihatkan dominasi kekuasaan Presiden yang sangat kuat sehingga praktik
ketatanegaraan pada masa pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden
Soekarno (1959-1967) dan Soeharto (1967-1988) tidak menciptakan atau membuat
tradisi pengawasan dan keseimbangan antara lembaga negara, khususnya pengawasan
antara legislatif dan eksekutif sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.[22]
Di masa lalu, sebelum UUD 1945 diadakan
perubahan, penerapan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh MPR dan mekanisme checks and balances yang tidak jelas telah menimbulkan
kecenderungan kepada arah sentralisasi kekuasaan oleh pihak eksekutif.
Akibatnya, peran DPR sebagai alat kontrol atau pengawas terhadap eksekutif
menjadi sangat lemah.[23]
Pada Zaman Reformasi saat
ini, dengan adanya perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi mekanisme
penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan. 
Sehingga berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukan pembenahan
yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut.
Berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang melibatkan fungsi DPR dan
Presiden, terdapat berbagai landasan pengaturan baru dalam UUD 1945 (setelah
perubahan) antara lain sebagai berikut:[24]
a)     
beralihnya
kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR (Pasal 20 ayat (1)
walaupun setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. (Pasal 20 ayat (2))
b)     
kewajiban
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (Pasal 20 ayat (4))
c)     
 sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30
hari sejak persetujuan bersama atas rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidak disahkan oleh Presiden (Pasal 20 ayat 5))
d)     kewajiban mengundangkan undang-undang. (Pasal 20 ayat (5))
e)     
adanya
undang-undang organik yang mengatur tentang tata cara pembentukan undang-undang
(Pasal 22A)) dan,
f)      
tugas
pengundangan peraturan perundang-undangan diserahkan kepada menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. (Pasal 48)
Untuk memulihkan kedudukan
DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dan dalam rangka checks and balances, diadakanlah perubahan. Namun, ketentuan ini
menunjukkan bahwa meskipun ada perubahan, tidak berarti ada pemisahan kekuasaan
(separation of power) antara DPR
dengan Presiden dalam membentuk Undang-undang. Yang ada adalah pembagian kekuasaan
(distribution of power) dan
mencerminkan pula kekuasaan membentuk undang-undang dilakukan bersama-sama
dilakukan oleh DPR dan Presiden.[25]
Dalam hal checks and balances yang menyangkut
fungsi legislasi, disini presiden berperan sebagai co-legislator sedangkan DPR
menjadi legislator yang utama. Karena wewenang utama pembentukan Undang-Undang
ada pada DPR. Selain itu yang menyangkut fungsi pengawasan, disini DPR
mengawasi Presiden dalam menjalankan pemerintahan/kekuasaan. Pelaksanaan
pengawasan yang dilakukan oleh DPR tidak terpaku harus setelah Presiden
melakukan/membuat sesuatu tetapi juga dalam hal sebelum presiden melakukan
sesuatu. Misalnya, dalam hal perencanaan pembangunan dan perencanaan penetapan
alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat banyak dan jalannya pemerintahan. 
Peran pengawasan dalam
penjelasan UUD 1945, disebut “DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan
Presiden..”. Kedudukan DPR adalah kuat. Dewan tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota DPR
semuanya merangkap jadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa
mengawasi tindakan-tindakan presiden. Dengan demikian dalam hal pengawasan,
hubungan DPR dan Presiden boleh dikatakan adalah bersifat sepihak. Hanya DPR lah
yang secara konstitusional mempunyai hak untuk mengawasi Presiden. [26]  
Perubahan UUD 1945 telah memberikan
posisi yang kuat terhadap lembaga pengawas. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat
yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 mempunyai arti sangat penting
karena akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengusulkan kepada MPR dengan
terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana ketentuan Pasal 7 A UUD
1945 yang dapat berakibat Presiden dan atau Wakil Presiden diberhentikan.[27]
Setelah UUD 1945 mengalami perubahan,
persetujuan DPR tidak hanya diberikan dalam kaitannya dengan pernyataan perang
dan membuat perdamaian, melainkan juga dalam membuat perjanjian internasional
sebagaimana diatur dalam Pasal 11. Perubahan UUD 1945 pun mengharuskan Presiden
untuk meminta persetujuan DPR manakala mengangkat duta dan bahkan menerima duta
negara lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3).
Demikian pula halnya dengan memberi grasi, amnesti, tanda jasa serta abolisi
dan berbagai gelar serta tanda jasa lainnya, Presiden tidak mungkin lagi
bertindak tanpa pengawasan DPR, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 dan
Pasal 15 UUD 1945.[28]
4.1 Kesimpulan
Dalam perkembangannya, sebelum perubahan UUD 1945 tidak
disebutkan secara khusus pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap Presiden,
sehingga posisi DPR pada masa itu lemah karena yang lebih dominan adalah
kekuasaan Presiden/eksekutif nya.  Dengan
adanya amandemen UUD 1945 yang berlaku saat ini, kekuasaan Presiden
dibatasi  misalnya dalam hal pembentukan
Undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR. Dalam hal tertentu juga Presiden
harus mendapat persetujuan dari DPR. Dan pengaturan sistem checks and balances antara DPR dengan Presiden pada masa pasca
perubahan UUD 1945 sudah cukup memadai.
4.2 Saran 
Sesuai
amanat konstitusi diharapkan eksekutif/Presiden dapat menciptakan hubungan
kerja yang kondusif dengan DPR dan juga eksekutif sebagaimana diamanatkan
konstitusi harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Selain itu harus lah
ada pengawasan yang efektif juga dari DPR terhadap Presiden. 
Daftar Pustaka
Buku 
Manan, Bagir. 1999. Lembaga
Kepresidenan. Yogyakarta: Gama Media
Manan, Bagir. 2005. DPR,DPD,
dan MPR dalam UUD 1945Baru. Cetakan
ketiga. Yogyakarta: FH-UII
Press
Ranawijaya,
Usep. 1983. Hukum Tata Negara Indonesia,dasar-dasarnya, Cetakan Pertama. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Soemantri,
Sri. 1989. Tentang Lembaga-Lembaga Negara
menurut UUD 1945, Cetakan keenam. Bandung: PT.Alumni
Thaib,
Dahlan. 2000. DPR dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Edisi kedua. Yogyakarta: Liberty
Jurnal dan Artikel Hukum
Prof. Dr. Gani
Abdullah, S.H. Jurnal/artikel hukum, Pengantar
Memahami Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Burhan D Magenda,
Jurnal Fisip UI, Dinamika Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Dalam Politik
Ketatanegaraan Indonesia.
M.
Arsyad Mawardi,
JURNAL HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang
No. 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
[1] Hal. 15-17, Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999.
[2] Hal. 115-116, Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media,
Yogyakarta, 1999.
[3] Hal. 9-10, Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999.
[4] Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999
[5] Prof. Dr. H. Bagir Manan,S.H,M.CL, Lembaga Kepresidenan,Gama Media, Yogyakarta, 1999
[6] Pasal 71 point a UU no.27 tahun 2009
[7] Pasal 71 point b UU no.27 tahun 2009
[8] Pasal 71 point d UU no.27 tahun 2009
[9] Pasal 71 point e UU no.27 tahun 2009
[10] Pasal 71 point g UU no.27 tahun 2009
[11] Pasal 71 point j UU no.27 tahun 2009
[12] Pasal 71 point k UU no.27 tahun 2009
[13] Pasal 71 point l UU no.27 tahun 2009
[14] Pasal 71 point o UU no.27 tahun 2009
[15] Pasal 71 point p UU no.27 tahun 2009
[16] Pasal 71 point q UU no.27 tahun 2009
[17] Jurnal Fisip UI, Burhan D Magenda, Dinamika Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Dalam Politik
Ketatanegaraan Indonesia
[18] Hal.9, Prof. Bagir Manan, DPR,
DPD dan MPR dalam UUD 1945 baru, cetakan ketiga, FH-UII Press, Yogyakarta,
2005
[19] Jurnal Fisip UI, Burhan D Magenda, Dinamika Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Dalam Politik
Ketatanegaraan Indonesia
[20] Jurnal Fisip UI, Burhan D Magenda, Dinamika Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif Dalam Politik
Ketatanegaraan Indonesia
[21] Hal.23, Prof. Bagir Manan, DPR,
DPD dan MPR dalam UUD 1945 baru, cetakan ketiga, FH-UII Press, Yogyakarta,
2005
[22] M. Arsyad Mawardi, JURNAL
HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI
[23] M. Arsyad Mawardi, JURNAL
HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI
[24] Jurnal/artikel hukum, Pengantar
Memahami Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Prof. Dr. Gani Abdullah, S.H
[25]  Hal.24, Prof. Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 baru,
cetakan ketiga, FH-UII Press, Yogyakarta, 2005
[26] Hal. 54, Dahlan Thaib, S.H,M.Si, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia edisi kedua, Liberty,
Yogyakarta, 2000
[27] M. Arsyad Mawardi, JURNAL
HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI
[28] M. Arsyad Mawardi, JURNAL
HUKUM NO.1 VOL. 15 JANUARI 2008: 60 – 80, Pengawasan Dan Keseimbangan Antara DPR Dan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan RI
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar