Kamis, 14 Mei 2015

Contoh Usulan Penelitian - Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A.   Latar Belakang
Perkawinan mengakibatkan timbulnya ikatan lahir batin antara dua orang berlainan jenis yang telah terikat dan ingin mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu, bagi suami dan istri harus menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing secara seimbang agar tujuan perkawinan yang dicita-citakan dapat tercapai.
Perkawinan yang sah akan mengakibatkan bukan hanya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita, tetapi juga menimbulkan harta benda suami dan istri dalam perkawinan. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan berlangsung, dengan tidak mempermasalahkan pihak mana yang menghasilkannya (baik suami ata istri saja, ataupun suami dan istri secara bersama-sama), maka harta tersebut menjadi milik bersama antara suami dan istri. Oleh karena itu, mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak bersama-sama atau hanya salah satu pihak yang bertindak, tetapi atas persetujuan pihak lainnya.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga, suami atau istri bekerja untuk mencari nafkah. Namun, saat ini, tidak sedikit pasangan suami istri yang melakukan wirausaha. Salah satu kendala terbesar dalam berwirausaha adalah persoalan modal untuk membiayai kegiatan usaha. Agar kebutuhan akan modal usaha tersebut dapat terpenuhi, suami atau istri dapat mengajukan pinjaman kepada pihak lain, baik lembaga perbankan maupun perorangan. Orang yang memperoleh pinjaman disebut sebagai Debitor, sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut sebagai Kreditor.
Pada hakikatnya, pemberian pinjaman (kredit) oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman tersebut tepat pada waktunya. Selain kepercayaan dari kreditor, hal yang paling diutamakan adalah pemberian jaminan (agunan) oleh debitor kepada kreditor, sehingga ada kepastian bahwa debitor akan membayar utangnya atau mengembalikan pinjamannya tepat waktu.
Adanya jaminan, bukan berarti utang-utang yang dibuat debitor akan selalu dibayar tepat waktu kepada kreditor, ada kalanya karena suatu alasan tertentu misalnya disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit, keadaan terpaksa ataupun karena kelalaian debitor sendiri, utang-utang tersebut menjadi tidak terbayarkan tepat waktu. Dengan adanya jaminan, maka hak dari kreditor menjadi terlindungi karena kreditor dapat mengeksekusi barang yang dijaminkan tersebut sebagai pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh debitor.
Ada kalanya, ketika berutang, debitor tidak menjaminkan apapun kepada kreditor. Walaupun demikian, undang-undang tetap akan melindungi kepentingan kreditor, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”
Selain harta kekayaan debitor yang menjadi jaminan bagi utang-utangnya, dalam Pasal 1132 KUH Perdata pun disebutkan bahwa kebendaaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Pada praktiknya, ada kemungkinan bahwa seorang debitor yang terikat perkawinan yang sah mempunyai utang kepada lebih dari satu kreditor. Dengan demikian, pada saat debitor lalai untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor-kreditor tersebut, maka segala harta kekayaannya akan dijual untuk pelunasan utang-utangnya tersebut. Tetapi, pada saat dilakukan pembagian hasil penjualan harta debitor, seringkali terjadi pertentangan antara para kreditor untuk medapatkan pelunasan atas piutangnya.
Untuk mencegah pertentangan antara para kreditor tersebut, biasanya debitor atau kreditor lebih memilih menyelesaikan permasalahan tersebut melalui lembaga kepailitan. Lembaga kepailitan akan mengadakan suatu penyitaan umum terhadap seluruh harta kekayaaan debitor, yang selanjutnya akan dibagi secara adil kepada para kreditor di bawah pengawasan petugas yang berwenang untuk itu.[1]
Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan oleh debitor yang terikat perkawinan yang sah adalah perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuan pasangannya masing-masing. Apabila salah satu pihak yang berutang tersebut, misalnya dipailitkan, maka pihak lainnya tidak bersedia turut bertanggung jawab dengan alasan tidak mengetahui atau tidak menyetujui perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan pasangannya. Padahal secara langsung maupun tidak langsung, pasangan yang tidak terlibat perjanjian utang piutang tersebut ikut menikmati hasil dari perjanjian. Menurut ketentuan Peraturan Kepailitan, apabila salah satu pihak yang terikat perkawinan yang sah dinyatakan pailit, maka pasangannya pun secara yuridis akan ikut pailit dan harta bersama mereka akan disita untuk dijadikan pembayaran atas utang-utang yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut.    
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk merumuskan masalah dalam penulisan hukum yang berjudul: ”KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG”

B.   Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah kajian hukum mengenai kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2.    Apakah pihak istri atau suami dapat menolak dimasukkannya harta bersama ke dalam boedel pailit oleh Kurator terkait dengan utang yang dibuat suami atau istrinya selama perkawinan sehingga menimbulkan kepailitan?

C.   Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu :
1.    Untuk mengetahui dan memahami kajian hukum mengenai kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.
2.    Untuk menentukan tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri dalam menyelesaikan masalah kepailitan yang dihadapi.

D.   Kegunaan Penelitian
Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu antara lain :
1.    Kegunaan teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum, terutama hukum perkawinan dan hukum kepailitan. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan literatur baru bagi penulisan-penulisan karya ilmiah berikutnya.
2.    Kegunaan praktis
Diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak terutama debitor dalam suatu perjanjian utang piutang yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah.
Selain itu, diharapkan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas yang ingin mengenal dan memahami berbagai aspek mengenai kebijakan pemberesan kepailitan yang melibatkan harta bersama dalam perkawinan.
Kemudian, diharapkan dengan penulisan ini dapat menjadi masukan-masukan yang sangat berarti bagi para calon kurator yang berwenang dalam melakukan pemberesan kepailitan.

E.   Kerangka Pemikiran
Dalam hal  seorang debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka masing-masing kreditor akan berupaya untuk mendapatkan pelunasan utangnya terlebih dahulu. Untuk mengatur tata cara pembayaran piutang para kreditor, dibentuklah suatu lembaga kepailitan.
Lembaga kepailitan merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 1131 jo. 1132 KUH Perdata mengenai prinsip “paritas creditorium” dan prinsip ”pari passu prorate parte” yang merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari debitor terhadap para kreditornya.
Prinsip “paritas creditorium” (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor.
Prinsip “paritas creditorium” mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.
Filosofi dari prinsip “paritas creditorium” adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda sementara utang debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utang-utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak berkenaan langsung dengan utang-utangnya.
Namun demikian, prinsip “paritas creditorium” jika diterapkan secara letterlijk akan menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan prinsip “paritas creditorium” adalah menyamaratakan kedudukan para kreditor, tanpa mempertimbangkan besar kecilnya piutang tiap-tiap kreditor atau membedakan kreditor yang memegang jaminan dengan kreditor yang tidak mendapat jaminan. Oleh karena itu, prinsip “paritas creditorium” harus dibarengi dengan prinsip ”pari passu prorate parte”.
Prinsip ”pari passu prorate parte” berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama bagi para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional, kecuali jika menurut undang-undang, di antara para kreditor ada yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran piutangnya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih adil dengan cara yang sesuai dengan proporsinya.  [2]
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), definisi kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Untuk dapat dinyatakan pailit, debitor harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Menurut Pasal 1 angka 1 UUKPKPU, yang dimaksud dengan Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Pasal 1 angka 3 UUKPKPU memberikan definisi Debitor, yaitu orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Utang yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, definisinya dicantumkan di dalam Pasal 1 angka 6 UUKPKPU, yaitu:
“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Akibat yuridis jika debitor dipailitkan diatur dalam Bab II Bagian Kedua UUKPKPU. Akibat-akibat kepailitan yang menyangkut dengan harta debitor antara lain yaitu sebagai berikut:
a.    Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan. Pasal 21 UUKPKPU menyebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitor dan bukan meliputi diri debitor.
b.    Akibat hukum terhadap tuntutan atas harta pailit. Dengan adanya putusan pernyataan pailit, mereka yang selama berlangsungnya kepailitan melakukan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan. Ketentuan Pasal 27 UUKPKPU mengandung arti bahwa mereka yang merasa sebagai kreditor apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit, harus mendaftarkan piutangnya itu untuk dicocokkan dalam verifikasi. Hal itu kembali menegaskan bahwa setelah putusan pernyataan pailit segala tuntutan berkaitan dengan harta pailit harus didaftarkan kepada curator.
c.    Akibat kepailitan terhadap harta warisan
Kemungkinan selama kepailitan, Debitor memperoleh warisan. Mengenai hal terseut, Pasal 40 UUKPKPU mengaturnya dan menyebutkan bahwa warisan yang jatuh kepada debitor selama kepailitan, oleh Kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila harta warisan tersebut menguntungkan harta pailit. Untuk tidak menerima warisan yang dimaksud, Kurator memerlukan izin hakim pengawas.

Adanya putusan pernyataan pailit mengakibatkan Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pailit diucapkan, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 24 UUKPKPU.

Konsekuensi dari perkawinan yang sah adalah terbentuknya harta benda perkawinan sebagai kekayaan untuk membiayai kebutuhan hidup dalam rumah tangga.
Soerjono Soekanto membagi harta benda perkawinan ke dalam 4 unsur yaitu:[3]
a.    Harta kekayaan yang diperoleh dari suami atau istri, yang merupakan warisan atau hibah/ pemberian dari kerabat yang dibawa ke dalam keluarga;
b.    Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan selama perkawinan;
c.    Harta kekayaan yang diperoleh dari hadiah kepada suami-istri pada waktu perkawinan;
d.    Harta kekayaan yang diperoleh dari usaha suami istri dalam masa perkawinan.
Menurut Hilman Hadikusuma, harta perkawinan dikelompokkan menjadi:[4]
a.    Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam ikatan perkawinan, baik yang berupa hasil jerih payah masing-masing atau yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan mereka berlangsung;
b.    Harta pencarian, yakni harta yang diperoleh sebagai hasil karya suami/istri selam ikatan perkawinan berlangsung;
c.    Harta peninggalan;
d.    Harta pemberian seperti hadiah, hibah, dan lain-lain.
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan diatur dalam Pasal 35 jo. 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pasal 35 UUP berbunyi sebagai berikut:
1)    Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2)    Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya, Pasal 36 UUP berbunyi sebagai berikut:
1)    Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.
2)    Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, harta dalam perkawinan terdiri atas harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karenanya menjadi milik bersama suami istri. Terhadap harta bersama, suami atau istri hanya dapat bertindak jika ada persetujuan bersama, sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami atau istri dan berhak untuk melakukan apa saja terhadap harta bawaan tersebut tanpa harus ada persetujuan dari pasangannya.[5]
Menurut ketentuan UUP, harta benda perkawinan sebenarnya secara otomatis terbagi antara harta bersama dan harta bawaan. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bagi suami dan istri yang ingin membuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan atau pengurusan harta. Selain mengenai pemisahan atau pengurusan harta, hal lainnya pun dapat diperjanjikan sepanjang tidak bertentangan dengan batasan hukum, agama, dan kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUP yang berbunyi sebagai berikut:
1)    Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga terlibat.
2)    Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
3)    Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4)    Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
UUP menempatkan suami dan istri dalam kewajiban memikul tanggung jawab dalam rumah tangga secara sejajar, artinya baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menegakkan rumah tangganya sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUP. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
Oleh karena kesetaraan kedudukan suami dan istri di dalam UUP tersebut, maka lahirlah tanggung jawab dari suami atau istri itu sendiri ketika salah satu dari mereka melakukan perbuatan hukum. Pada prinsipnya, prinsip tanggung jawab itu dibedakan dalam:
a.    Tanggung Jawab Intern
Tanggung jawab intern adalah pembagian beban tanggungan dalam hubungan antara suami dan istri sendiri. Hal ini tidak diatur secara tegas dalam UUP. Namun, dalam Pasal 36 ayat (2) UUP telah disebutkan bahwa harta pribadi yang berwujud harta bawaan dan harta hibahan serta harta warisan adalah milik suami atau istri yang bersangkutan dan atas harta tersebut masing-masing suami atau istri mempunyai wewenang sepenuhnya. Atas dasar tersebut, dapat dikemukakan bahwa menurut UUP, asas tanggung jawab intern adalah masing-masing suami atau istri bertanggung jawab sendiri atas utang-utang pribadinya.
b.    Tanggung Jawab Ekstern
Pada prinsipnya, masing-masing suami atau istri menanggung hutang pribadinya masing-masing, baik hutang pribadi sebelum maupun sepanjang perkawinan dengan harta pribadinya. Harta bersama adalah milik bersama suami dan istri. Isinya adalah hasil usaha maupun hasil harta benda mereka, baik bersama maupun masing-masing. Mereka jugalah yang mengikatkan harta bersama kepada pihak ketiga. Atas dasar itu, adillah kiranya, kalau baik suami maupun istri bertanggung jawab atas utang bersama yang dibuat olehnya dengan harta bersama.[6]
Dalam konsepsi UUP, setiap perkawinan pasti menyebabkan adanya harta bersama. Harta bersama ini bukan lahir dari perjanjian kawin, tetapi lahir karena undang-undang. Oleh karena itu, jika ingin mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang terikat dalam perkawinan yang sah, harus diperhatikan apakah perkawinan tersebut tunduk pada UUP atau KUH Perdata. Hal ini penting, untuk mengetahui apakah ada harta bersama atau tidak serta siapa-siapa saja yang harus dimohonkan pailit. Dengan adanya harta bersama, kepailitan suami atau istri dapat menyebabkan pailit terhadap pasangannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 23 UUKPKPU yaitu debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang menikah dalam persatuan harta. [7]
F.    Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, di samping juga menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat.[8] Dengan kata lain, secara spesifik metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) yaitu dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani.[9]
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yaitu menganalisa obyek penelitian dengan memaparkan situasi dan keadaan, dengan cara pemaparan data yang diperoleh sebagaimana adanya, yang kemudian dianalisis yang menghasilkan beberapa kesimpulan.
3. Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan beberapa tahap penelitian, yaitu:
a.    Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Dalam penelitian ini, digunakan penelitian kepustakaan yang bersifat mengikat pada masalah-masalah yang diteliti, yang terdiri dari:
1)    Bahan hukum primer, yaitu terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:
a)    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b)    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c)    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
d)    Peraturan perundang-undangan yang lainnya.
2)    Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, antara lain:
a)    Hasil karya ilmiah para sarjana;
b)    Hasil-hasil penelitian
3)    Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain berupa artikel di koran dan majalah serta situs internet
b.    Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data primer sebagai penunjang data sekunder sebagai upaya memperoleh informasi lebih jelas mengenai masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.
4.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara Studi Kepustakaan. Dilakukan terhadap data sekunder untuk mendapatkan landasan teoretis, beberapa pendapat-pendapat atau hasil tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk mendapatkan informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi.
5.    Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis secara yuridis kualitatif yang bertitik tolak dari norma-norma, asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif.
1.    Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan di beberapa lokasi untuk memperoleh data yang diperlukan, antara lain:
a.    Penelitian Kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Universitas Padjadjaran (CISRAL), Jalan Dipati Ukur Nomor 46, Bandung;
b.    Penelitian Kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur Nomor 35, Bandung;

G.   Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dan memperoleh gambaran secara keseluruhan mengenai penelitian ini, maka sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dalam penyajiannya.
BAB I             PENDAHULUAN
Pada Bab ini Penulis memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II            TINJAUAN UMUM MENGENAI UTANG SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN KEPAILITAN DAN PEMBERESAN KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
Pada Bab ini Penulis memberikan gambaran umum mengenai perkawinan di Indonesia, perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama, kepailitan yang terjadi pada suami atau istri, serta pengurusan dan pemberesan kepailitan.

BAB III           KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT
            Pada Bab ini penulis  membahas mengenai tinjauan umum tentang kepailitan suami atau istri yang menyebabkan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.

BAB IV           KAJIAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MENYEBABKAN MASUKNYA HARTA BERSAMA KE DALAM BOEDEL PAILIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
            Pada bab ini Penulis memberikan analisis dan membahas identifikasi masalah yang Penulis angkat dalam skripsi ini. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut maka pada Bab  ini membahas mengenai utang suami atau istri yang mengakibatkan kepailitan dan masuknya harta bersama ke dalam boedel pailit.

BAB V            KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir dari seluruh uraian yang ada, berisikan tentang beberapa simpulan dari hasil analisa Penulis terhadap permasalahan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dan kemudian Penulis memberikan saran yang berkaitan dengan jawaban dari permasalahan yang terjadi.





DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan: Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003.

Isis Ikhwansyah,dkk., Hukum Kepailitan (Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan), Keni Media, Bandung, 2012.

Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group,Jakarta, 2005.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.



PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang



[1] Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,  Jakarta, 2002, hlm. 26
[2] Isis Ikhwansyah,dkk., Hukum Kepailitan (Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan), Keni Media, Bandung, 2012,  hlm.  19
[3] Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 244
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan: Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 123-124
[5] Isis Ikhwansyah, Hukum Kepailitan, hlm. 11
[6] J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 213
[7]  Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 49-50
[8]  Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:  Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 10.
[9]  Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group,  2005, hlm. 9.

Rabu, 13 Mei 2015

PENERAPAN MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERKAIT PEMECAHAN PROBLEM PLURALITAS BANGSA INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

PENERAPAN MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERKAIT PEMECAHAN PROBLEM PLURALITAS BANGSA INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

Diajukan untuk memenuhi salah satu penilaian mata kuliah Teori Hukum Pembangunan

Oleh:
Mega Meirina
110110100270

Dosen:
Maret Priyanta, S.H., M.H.

http://blogs.unpad.ac.id/hardiman/files/2010/02/lambang-unpad-hitam-putih-300x274.gif
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang becorak multi etnik, agama, ras dan golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke selain memiliki sumber daya alam (natural recsources) juga mempunyai sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam coraknya (I Nyoman Nurjaya, 2007).[1]
Keragaman etnik yang ada di Indonesia sudah tentu mengandung dimensi multibudaya (multikultural). Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki kelompok-kelompok etnik yang berbeda dalam kebudayaan, bahasa, nilai, adat istiadat dan tata kelakuan yang diakui sebagai jalan positif untuk menciptakan toleransi dalam sebuah komunitas. Masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang berbhineka juga didefinisikan sebagai masyarakat majemuk, masyarakat plural atau pluralistik.[2]
Paradigma pluralisme pada awalnya digunakan untuk melakukan counter terhadap teori-teori tradisional mengenai kedaulatan negara. Hal ini karena teori-teori tradisional tersebut tidak atau kurang memertimbangkan adanya bermacam-macam hak, kepentingan dan perkembangan dari aneka warna kelompok atau golongan di dalam negara (Soerjono Soekanto, 2010).[3]
Pembangunan hukum, sebagaimana aspek pembangunan di bidang lainnya, sudah seharusnya mempertimbangkan aspek multikultural yang ada dalam suatu komunitas negara. Pembangunan hukum yang mengabaikan fakta kemajemukan masyarakat (political of legal plurality ignorance) dapat menjadi pemicu terjadinya konflik nilai dan norma dalam masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Benard L. Tanya (2010) membuktikan bahwa hukum positif/hukum nasional bahkan menjadi beban bagi sebagian masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena meskipun fakta kehidupan yang menunjukkan keragaman hukum (legal plurality), namun pembangunan hukum di Indonesia masih dominan pada sistem hukum nasional dan kurang memberi perhatian pada sistem hukum adat, hukum agama dan juga mekanisme-mekanisme regulasi sendiri (self regulation) yang ada dalam komunitas masyarakat di daerah (I Nyoman Nurjaya, 2007).[4]
Negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya sangat membutuhkan pembinaan dan pengembangan sistem hukum nasional dalam rangka mendorong dan mendukung pembangunan di segala bidang. Meminjam istilah Roscoe Pound bahwa “as tool as social engineering”, maka sesungguhnya pembinaan dan pengembangan hukum nasional sudah semestinya dapat memberikan arah dan jalan bagi hukum, masyarakat dan negara untuk saling terkait satu dengan yang lainnya. Tentunya hal itu dapat terwujud jika semangat dalam pembinaan dan pengembangan hukum nasional itu dilandasi dengan semangat dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat dengan tidak mengenyampingkan juga nilai-nilai yang berkembang lainnya yang sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia.[5]

B.     IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah penerapan dan pengaruh Mazhab Sociological Jurisprudence dalam mengakomodasi pemecahan problem pluralitas bangsa Indonesia dalam pembangunan hukum nasional?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    TINJAUAN MENGENAI MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti pemikiran mazhab ini yang berkembang di Amerika :[6]
“Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”.
Sesuai disini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.[7]
Mazhab ini hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal dengan sosiologi hukum. Yang terakhir sebagaimana telah diuraikan secara singkat pada bagian terdahulu merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial. Sosiologi hukum tumbuh dan berkembang di Eropa Kontinental. Sebagaimana dijelaskan oleh Roscoe Pound dalam kata pengantar pada buku Gurvitch yang berjudul “Sosiologi Hukum” (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) perbedaan di antara keduanya ialah bahwa kalau sociological jurispudence itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya sedang sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut disamping juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Yang terpenting adalah bahwa kalau sociological jurisprudence cara pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum.[8]
Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu Positivisme hukum dan antithesenya Mazhab sejarah. Dengan demikian, sociological jurisprudence berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman. Pandangan ini berasal dari Roscoe Pound yang intisarinya antara lain : Kedua konsepsi masing-masing aliran (maksudnya positivisme hukum dan mazhab sejarah) ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.[9]
Jadi, dengan kata lain janganlah diulangi lagi kesalahan yang dianut para ahli filsafat hukum abad ke-18 yang hanya memahamkan hukum sebagai perumusan akal semata-mata dan sarjana-sarjana hukum mazhab sejarah beranggapan bahwa hukum hanyalah merupakan perumusan pengalaman.[10]
       Selain itu menurut Sulistyowati Irianto, Sociological jurisprudence adalah salah satu aliran dalam teori hukum yang digagas oleh Roscoe Pound, dan berkembang di Amerika  mulai  tahun 1930-an. Mengutip Soetandyo Wignjosoebroto (2002: 8-16), istilah “sociological” mengacu kepada pemikiran realisme dalam ilmu hukum (Holmes), yang meyakini bahwa  meskipun hukum adalah sesuatu yang dihasilkan melalui proses yang dapat dipertangungjawabkan secara logika imperatif, namun  the life of law has not been logic, it is (socio-psychological) experience.  Hakim yang bekerja haruslah  proaktif membuat putusan untuk menyelesaikan perkara dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial. Dengan demikian putusan hakim selalu dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dari pemikiran inilah lahir doktrin baru dalam sociological jurisprudence tentang law is a tool of social engineering.[11]
B.     ETNISITAS DAN PLURALITAS BANGSA
      Pluralisme kultural merupakan ciri khas masyarakat kontemporer dimana etnisitas tidak akan berakhir meskipun modernisasi telah menggema dimana-mana. Identifikasi etnik seharusnya tetap dipertimbangkan sebagai respon yang  normal dan sehat atas tekanan-tekanan ruang pasar yang mengglobal.[12]   
       Membangun masyarakat yang demokratis bagi Indonesia merupakan suatu tugas yang tidak ringan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis dan multikultural. Indonesia terkenal dengan pluralitas suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara. Di dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain dari kehidupan suku-suku tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang cepat. Melalui sensus 2000 tercatat 101 suku bangsa di Indonesia dengan jumlah total penduduk 201.092.238 jiwa sebagai warga Negara (Suryadinata cs, 2003: 102). Kepulauan nusantara merupakan ajang pertemuan dari agama-agama besar di dunia. Penyebaran agama-agama besar tersebut tidak terlepas dari letak geografis kepulauan nusantara di dalam perdagangan dunia sejak abad permulaan. Tidak mengherankan apabila pengaruh-pengaruh penyebaran agama Hindu, Budha, Islam, Katolik, Kristen, serta agama-agama lainnya terdapat di Kepulauan Nusantara. Setiap sub etnis di Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri. Kebudayaan berjenis-jenis etnis tersebut bukan hanya diperlihara dan berkembang di dalam teritori di mana terjadi konsentrasi etnis tersebut tetapi juga telah menyebar di seluruh Nusantara.[13]
          Perubahan sosial di era reformasi telah melahirkan politik hukum yang mempertegas diri bahwa ada kemauan politik menuju ke arah negara maju yang bercirikan otonomi. Dengan diberlakukannya otonomi daerah segera memunculkan serangkaian kebangkitan daerah, etnik, politik dan hukum. Menguatnya kesadaran akan peran nilai-nilai lokal dalam menopang pembangunan yang berkelanjutan membawa dampak dalam proses pembangunan hukum nasional. Hukum adat dan kearifan lokal sudah semestinya dijadikan komponen dan sendi dari pembangunan hukum nasional.[14]
C.    PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Upaya menampakkan jati diri bangsa Indonesia dalam bidang hukum belum berhasil sesuai dengan harapan dan cita-cita pembangunan hukum nasional Indonesia. Yaitu mempunyai hukum nasional yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana terekam dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Meskipun demikian, sudah ada usaha yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam rangka menuju cita-cita tersebut, yaitu adanya program Pembinaan Hukum Nasional. Menurut Qodri Azizy, tidak adanya hukum nasional merupakan salah satu problematika pembangunan hukum di Indonesia, dan pada hakekatnya problematika itu telah mulai ada sejak awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia.[15]
Unifikasi hukum dan pembentukan hukum melalui perundang-undangan dalam proses pembangunan memerlukan skala prioritas. Dalam rangka memperhatikan skala prioritas yang demikian, maka bidang-bidang hukum yang berhubungan dengan kepentingan publik dan sosial dan bidang-bidang hukum yang langsung menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan, perlu diprioritaskan dalam pembentukannya. Sedangkan bidang-bidang hukum yang erat hubungannya dengan kehidupan pribadi, kehidupan spiritual, dan kehidupan budaya bangsa memerlukan penggarapan yang saksama dan tidak tergesa-gesa .[16]
Menyadari pentingnya kodifikasi dalam rangka pembinaan hukum nasional khususnya dan pembangunan nasional umumnya, dengan mengingat kebutuhan yang mendesak, maka usaha ke arah kodifikasi dilaksanakan untuk seluruh atau sebagian lapangan hukum tertentu secara bertahap, baik dengan undang-undang maupun dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Pengambilan/pengoperan hukum asing yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat diterima, asalkan hal tersebut dapat memperkembangkan dan memperkaya hukum nasional.[17]
Pembangunan di bidang hukum harus berdasar atas landasan cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia yang ditemukan dalam Pancasila dan UUD 1945. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Dengan demikian, hukum tidak merupakan institusi tekhnik yang kosong moral dan steril terhadap moral.[18]
Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional dengan penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya penyusunan produk hukum baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu disusun program legislasi nasional yang terpadu sesuai dengan prioritas, termasuk upaya penggantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial dengan peraturan perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses secara terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta menghasilkan produk hukum hingga tingkat peraturan pelaksanaannya. Dalam pembentukan hukum perlu diindahkan ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Produk hukum kolonial harus diganti dengan produk hukum yang dijiwai dan bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.[19]
Pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur yang memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan nasional serta ditujukan kepada pemantapan kemampuan profesional aparatnya. Pembangunan aparatur hukum dilaksanakan melalui pembinaan profesi hukum serta pemantapan semua organisasi dan lembaga hukum agar aparatur hukum mampu melaksanakan tugas kewajibannya yang mencakup penyuluhan, penerapan, dan penegakan serta pelayanan hukum secara profesional dalam rangka pemantapan fungsi dan peranan hukum sebagai sarana pengatur dan pengayom masyarakat. Kualitas dan kemampuan aparat hukum harus dikembangkan melalui peningkatan kualitas manusianya, baik tingkat kemampuan profesionalnya maupun kesejahteraannya, serta didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.[20]
Penerapan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan lugas tetapi manusiawi berdasarkan asas keadilan dan kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, meningkatkan tertib sosial dan disiplin nasional, mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan damai.[21]
Menurut Satjipto Rahardjo, usaha untuk membangun hukum Indonesia, maka pikiran, gagasan dan visi keilmuan dari para akademisi adalah penting. Melakukan pembangunan hukum bukan hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti legislasi, yudikasi dan penegakan hukum, melainkan juga berfikir tentang hukum itu sendiri. Kontribusi pikiran ini adalah dalam memberikan visi dan pencerahan terhadap aksi-aksi yang dilakukan secara konkrit.[22]
Dengan adanya arah pembangunan hukum nasional pada kodifikasi dan unifikasi hukum, berarti akan mengarah pada pembentukan undang-undang. Idealnya tentu mampu mengubah segala jenis undang-undang produk Kolonial Belanda untuk diganti dengan undang-undang produk bangsa kita sendiri. Namun, kenyataannya hanya baru mampu membuat undang-undang yang sifatnya ad hoc, sebagai upaya tambal sulam. Sudah barang tentu, dengan selalu tidak pernah dilepaskan rumusan bahwa pembangunan hukum nasional akan tetap menghargai hukum tidak tertulis dan nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, akan memberi arti meskipun pembangunan hukum kita mengarah pada kodifikasi dan unifikasi, namun peran hakim tetap besar, penting dan menentukan.[23]
Arah pembangunan jangka panjang di bidang hukum sebagaimana yang tertuang dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dinyatakan bahwa pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.[24]
Bentuk hukum yang perlu disusun dan diperbarui tidak saja berupa Undang- Undang tetapi juga Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan di lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara dan badan-badan khusus dan independen lainnya seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya. Demikian pula di daerah-daerah, pembaruan dan pembentukan hukum juga dilakukan dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Untuk menampung kebutuhan di tingkat lokal, termasuk mengakomodasikan perkembangan norma-norma hukum adat yang hidup dalam masyarakat pedesaan, dapat pula dibentuk Peraturan Desa. Di samping itu, nomenklatur dan bentuk sistem hukumnya juga perlu dibenahi, misalnya, perlu dibedakan dengan jelas antara peraturan (regels) yang dapat dijadikan objek judicial review dengan penetapan administratif berupa keputusan (beschikking) yang dapat dijadikan objek peradilan tata usaha negara, dan putusan hakim (vonis) dan fatwa (legal opinion).[25]





BAB III
KASUS
A.    KASUS I [26]
Contoh kasus terjadi pada masyarakat Desa Bejijong Kabupaten Mojokerto yang melakukan integrasi nilai lokal ke dalam hukum nasional dalam bentuk peraturan desa. Masyarakat Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur yang merupakan komunitas perajin tradisional cor kuningan yang telah menjalankan aktivitas karya sejak puluhan lalu. Selama ini mereka hanya menggunakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self regulation) untuk menjaga keteraturan sosial dalam praktek berkerajinan sehari-hari. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perajin Desa Bejijong kemudian merasa khawatir atas hasil karya-karyanya yang dijual ke pasaran tanpa perlindungan hukum.
Kekhawatiran tersebut kemudian mendorong masyarakat Desa Bejijong melakukan proses sosial berupa integrasi antara nilai-nilai lokal yang telah mereka praktikkan dengan formalisme hukum nasional yang sedang berjalan. Dengan inisiatif beberapa elemen pemerintah desa, mereka menerbitkan ‘Undang-Undang Perlindungan Hak Cipta Pengrajin Patung Desa Bejijong Nomor 6 Tahun 2004’ yang substansinya berasal dari konsensus bersama komunitas perajin Desa Bejijong. Peraturan tersebut dibuat antara lain untuk menjamin dan menumbuhkan kreativitas para perajin di Desa Bejijong. Perajin yang kedapatan menjiplak karya perajin lain akan didenda sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Masyarakat Desa Bejijong mendapat inspirasi dari asas dan norma hukum Hak Cipta yang ada pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta; Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri atau Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Merek, yang merupakan rezim HKI yang dapat digunakan untuk melindungi karya-karya mereka. Aturan tersebut dibuat secara otodidak, bersama-sama seluruh elemen masyarakat desa dan kemudian hasilnya ditetapkan menjadi Peraturan Desa Bejijong. Sampai saat ini aturan  tersebut masih ada dan berhasil difungsionalisasikan secara efektif oleh masyarakat setempat.

B.     KASUS II[27]
Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang berisi pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang (pelarangan) agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina, dirayakan oleh masyarakat Tionghoa dan Konghucu dengan gaya berbeda, tetapi tetap dalam satu rasa euphoria.
Poin ketiga dari Keppres itu memang menarik bahasanya “…Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini…” Tidak heran bila masyarakat Konghucu bangga karena tanggal 31 Maret 2000 muncul Surat Mendagri (Surjadi Soedirdja) Nomor 477/805/Sj yang ditujukan ke Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia, untuk mencabut Inpres. Ditambah menyatakan SE Mendagri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978 (petunjuk pengisian kolom “agama”) pada lampiran SK Mendagri Nomor 221a/1975, tidak berlaku lagi. Kolom agama pada lampiran itu (pencatatan perkawinan dan perceraian pada KCS) agar berpedoman pada Instruksi Menag Nomor 4/1978.
Pembelaan muncul dari Anly Cenggana bahwa barongsay konghucu itu ritus dan bukan seni tari biasa. Terkait tidak jelasnya tradisi dan agama ini bertambah runyam karena etnis Cina di Indonesia mengalami keterputusan alih generasi penguasaan bahasa China-kitab, sementara banyak orang cina tempo dulu yang sudah meninggal tanpa sempat mewariskan ilmunya lagi.
Terbitnya keppres ini ternyata membawa perseteruan baru yang terjadi secara lintas agama, tetapi satu etnis. 

BAB IV
PEMBAHASAN

A.    PEMBAHASAN MENGENAI PENERAPAN MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERKAIT PEMECAHAN PROBLEM PLURALITAS BANGSA INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

Dilihat dari teori/ Mazhab Sociological Jurisprudence , maka untuk kasus yang telah di bahas sebelumnya dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Di Indonesia sendiri yang paling menonjol adalah perundang-undangan.[28]
Agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran Sociological Jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat . jadi, mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan (bekerja) dan akan mendapat tantangan-tantangan.[29]
Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti mengubah sikap mental masyarakat tradisional ke arah modern, misalnya yang terjadi dalam kasus pertama dan kedua tadi. Dalam kasus pertama, disini dengan terbitnya Undang-Undang mengenai hak cipta telah mengubah pola pikir dalam masyarakat  Desa Bejijong Kabupaten Mojokerto terkait perlindungan hukum hak cipta kerajinan patung yang mereka buat. Mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self regulation) yang diterapkan masyarakat Desa Bejijong Kabupaten Mojokerto untuk menjaga keteraturan sosial dalam praktek berkerajinan sehari-hari merupakan suatu integrasi nilai lokal ke dalam hukum nasional tersebut telah tepat. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perajin Desa Bejijong kemudian merasa khawatir atas hasil karya-karyanya yang dijual ke pasaran tanpa perlindungan hukum. Oleh karena itu penerapan Mazhab Sociological Jurisprudence terkait pembuatan peraturan perundang-undangan telah berhasil dalam kasus ini, karena kesadaran hukum masyarakat ini timbul setelah adanya sosialisasi Undang-Undang HKI tentang Hak Cipta. Yaitu untuk mengubah sikap tradisional ke modern yang sadar akan hukum.
Untuk kasus kedua, disini peranan Mazhab Sociological Jurisprudence yaitu dalam menerapkan hukum yang baik disesuaikan dengan kondisi yang ada didalam masyarakatnya. Di Indonesia yang terkenal sebagai negara yang plural/ memiliki kemajemukan budayanya, salah satunya budaya/ kepercayaan Konghucu maka disini dengan hadirnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang membolehkan adanya kepercayaan konghucu maka peraturan tersebut harus mengakomodasi keinginan dari pemeluk kepercayaan konghucu tersebut. Namun, permasalahan yang muncul aturan tersebut belum memenuhi seluruhnya keinginan dari penganut kepercayaan konghucu. Oleh karena itu peranan dari mazhab ini perlu diterapkan karena jika tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat penganut kepercayaan konghucu, maka akibatnya ketentuan aturan tersebut tidak akan berjalan dengan efektif dan akan mendapat tantangan-tantangan.
Keppres Nomor 6 Tahun 2000 dan SE Mendagri yang mengikutinya masih dianggap kurang oleh beberapa masyarakat Konghucu, yaitu tidak dicantumkannya nama agama mereka pada kolom agama di beberapa daerah (kasus Anly Cenggana di Surabaya) padahal di Jakarta bisa dilakukan (kasus Chandra Setiawan). Kolom agama dalam KTP itu sebaiknya dihilangkan saja, seperti penghilangan kolom “perkawinan” dalam KTP Surabaya (yang bisa disalahgunakan untuk over-poligami).[30]
Agar peranan dan fungsi dari Mazhab Sociological Jurisprudence dapat terealisasi dalam kasus ini, Keppres Nomor 6 Tahun 2000 harus dilengkapi dengan kritik atas rasisme dengan mendorong terciptanya Undang-Undang Anti Diskriminasi. Tanpa undang-undang ini maka basis massa Konghucu tidak akan bisa keluar dari keluh kesah.[31] 
       Dengan menguatnya peran dan kapasitas kearifan lokal dalam masyarakat serta kebiasaan-kebiasaan yang timbul, sistem hukum nasional juga harus bersiap memberikan ruang untuk menghadapi situasi yang disebut oleh Holleman sebagai hybrid law atau unnamed law. Hybrid law atau unnamed law adalah situasi dimana tumbuh bentuk hukum-hukum baru yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat atau hukum agama. Pada perkembangannya saat ini dapat dilihat di beberapa daerah di Indonesia telah banyak upaya melembagakan hukum adat ”baru” dengan format hukum negara, yaitu menjadi peraturan daerah atau peraturan desa mengikuti struktur formal dan logika hukum negara.[32]
       Menurut Otje Salman, sistem hukum  agar dapat berfungsi lebih baik, maka ada empat hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu masalah legitimasi, interpretasi, sanksi, dan yuridiksi. Salah satunya mengenai permasalahan legitimasi yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-aturan.[33] Oleh karenanya kedua kasus tersebut dapat menjadi pelajaran pembuat aturan agar aturan tersebut dapat diterima oleh masyarakatnya.


BAB V
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
      Terkait dengan permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa peranan Mazhab Sociological Jurisprudence  Dilihat dari contoh kasus diatas, maka penting nya penerapan Mazhab Sociological Jurisprudence dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan karena undang-undang atau aturan yang dibuat harus berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakatnya. Karena jika tidak dibuat berdasarkan hal tersebut aturan yang dibuat itu akan mendapat tantangan-tantangan seperti yang terdapat dalam kasus II. Pemerintah masih belum serius mengangkat tema kebijakan yang berfokus pada problem dan konflik etnik yang sampai saat ini belum mampu memberikan kontibusi bagi pengakomodasian masyarakat yang berbeda beda latarbelakang etnisnya.
      Selain itu, peranan Mazhab Sociological Jurisprudence dalam pembangunan hukum nasional. Dalam artian peraturan perundang-undangan dibuat sebagai sarana pembaharuan masyarakat seperti yang terdapat dalam contoh kasus I, disini aturan dapat mengubah sikap mental masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang sadar akan pentingnya hukum sehingga hal itu dapat memecahkan problem masyarakat plural yang ada di Indonesia.

B.     SARAN
     Pemerintah harus dapat mengakomodasi kehendak masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya sehingga pemikiran dari Mazhab Sociological Jurisprudence yang tercermin dalam aturan perundang-undangan dapat terealisasi sepenuhnya.



DAFTAR PUSTAKA
A.    BUKU-BUKU
Anom Surya Putra. Teori Hukum Kritis, Struktur Ilmu dan Riset Teks. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2003
Lili Rasjidi. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2004.
Otje Salman. Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: PT Refika Aditama. 2005
B.     LAIN-LAIN (Jurnal, Disertasi, website, dll)
Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam terhadap Pembangunan Nasional, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 2008.
Farida Hanum, Jurnal: Pendidikan Multikultural Dalam Pluralisme Bangsa, http://eprints.uny.ac.id
Hendra Wahanu Prabandani, PEMBANGUNAN HUKUM BERBASIS    KEARIFAN LOKAL, Jurnal Biro Hukum Bappenas, E D I S I 0 1 / TA H         U N X V I I / 2 0 1 1
Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi         Metodologisnya, http://bphn.go.id, 2014.
Oksep Adhayanto, Jurnal : Rekonstruksi Nilai-Nilai Masyarakat Lokal dalam         Semangat Otonomi Daerah Menuju Penguatan Sistem Hukum Nasional,             Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji,           2014





[1] Hendra Wahanu Prabandani, Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan Lokal, Jurnal Biro Hukum Bappenas, Edisi 01/ Tahun XVII/2011, hlm. 29.
[2] Ibid,
[3] ibid
[4] Ibid, hlm. 30
[5] Oksep Adhayanto, Jurnal : Rekonstruksi Nilai-Nilai Masyarakat Lokal dalam Semangat Otonomi Daerah Menuju Penguatan Sistem Hukum Nasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji,2014.  hlm. 268



[6] Lili Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan teori hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Hlm. 66
[7] Ibid
[8] ibid
[9] Ibid, hlm. 67
[10] ibid
                [11] Sulistyowati Irianto, Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, http://bphn.go.id, hlm. 4-5, diunduh tanggal 21 Mei 2014 pukul 08.48 WIB.
                [12] Anom Surya Putra. Teori Hukum Kritis, Struktur Ilmu dan Riset Teks. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2003. Hlm.123
                [13]. Farida Hanum, Jurnal: Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa, http://eprints.uny.ac.id , hlm. 2, diunduh tanggal 21 Mei 2014 jam 09.48 WIB.
                [14] Hendra Wahanu Prabandani, op. cit, hlm. 32-33
[15] Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam terhadap Pembangunan Nasional, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 2008. hlm. 106
[16] ibid
[17] Ibid, hlm. 107
[18] ibid
[19] ibid
[20] Ibid, hlm. 108.
[21] ibid
[22] Ibid, hlm. 109.
[23] ibid
[24] ibid
[25] Ibid, hlm. 114-115.
[26] Oksep Adhayanto, op.cit, hlm. 269
                                [27] Anom Surya Putra. Op.cit, Hlm. 127.

                [28] Lili Rasjidi, op. cit, hlm. 79
                [29] ibid
                [30] Anom Surya Putra, op.cit, hlm.137
                [31] ibid
                [32] Hendra Wahanu Prabandani, op.cit, hlm. 32
                                [33]Otje Salman. Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: PT Refika Aditama. 2005. hlm. 155.