HAK
 WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN DALAM YURISPRUDENSI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi
 tugas Hukum adat dalam perkembangan 
Disusun Oleh:
Nafesha Nurshadrina                          110110100206
Putri Esta Napitu                                110110100211
Alivia Indiasri                                     110110100229
Thitien Setyaningsih                           110110100245
Nina Y. Pardosi                                  110110100255
Mega Meirina                                      110110100270
 
 
Anastasia Yovita                                  110110100394 
FAKULTAS
 HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
2012-2013
KATA
 PENGANTAR
            Puji
 dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
 karuniaNya, makalah
 ini bisa terselesaikan. Penulis membuat makalah ini bertujuan untuk memenuhi
 tugas mata kuliah Program Kekhususan Hukum Perdata : Hukum Adat Dalam Perkembangan yang diberikan oleh Dosen penulis,  Bambang Daru Nugroho S.H., M.H dan Sherly
 M.I
            Penulis
 mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, untuk
 segala dukungan dan cinta kasih yang diberikan, kepada dosen mata kuliah Hukum
 Adat Dalam Perkembangan yang telah
 memberikan ilmu dan pengajaran dalam materi ini, serta tak lupa penulis
 mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dan semua pihak yang turut
 membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini, tanpa rekan-rekan sekalian,
 mungkin penulis tidak dapat meyelesaikan makalah ini. 
            Sangat
 besar harapan penulis agar makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca,
 khususnya, penulis menargetkan bagi para mahasiswa ilmu hukum yang berminat
 mengetahui lebih lanjut mengenai Hukum
 Waris di Indonesia serta Perkembangan hak waris anak
 laki-laki dan perempuan berdasarkan yurisprudensi. 
Tentu
 saja penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
 karena itu penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan baik yang disengaja
 maupun tidak disengaja. Penulis juga dengan rendah hati menerima
 sebanyak-banyaknya kritik dan saran dari para pembaca sehingga penulis dapat
 membuat makalah yang lebih baik lagi di masa mendatang. Terima kasih. 
                                                                                                           Bandung, Februari 2013
                                                                                                                              Penulis
BAB
 I 
PENDAHULUAN
A.    LATAR
 BELAKANG
Sistem
 waris merupakan salah satu cara adanya perpindahan kepemilikan, yaitu
 berpindahnya harta benda dan hak – hak material dari pihak yang mewariskan,
 setelah yang bersangkutan wafat kepada para penerima warisan. Terjadinya
 proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak – hak terkait dengan harta
 peninggalan si pewaris. Proses pewarisan ini dapat diatur dengan adanya hukum
 waris. 
Hukum
 waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta
 kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur
 peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal
 dunia beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Pada asasnya yang dapat
 diwariskan hanyalah hak-hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan saja,
 terkecuali hak-hak dan kewajiban dibidang hukum yang tidak dapat diwariskan.
Hukum
 waris di Indonesia masih bersifat majemuk, hal itu terjadi karena di Indonesia
 belum mempunyai Undang – Undang Hukum Waris Nasional yang berlaku bagi seluruh
 rakyat Indonesia. Sehubungan dengan belum adanya Undang – Undang tersebut, di
 Indonesia masih berlaku 3 (tiga) system hukum kewarisan yakni hukum kewarisan
 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Islam dan adat.
Dalam
 hukum adatnya, dikenal tiga system kewarisan, yaitu kolektif, mayorat dan
 individual. Dalam system waris kolektif, ahli waris bersama – sama mewarisi
 harta peninggalan. Dalam system waris mayorat, anak tertua menurutjenisnya
 menguasai harta peninggalandengan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus
 kepentingan adik – adiknya atas dasar musyawarah dan mufakat dari para anggota
 kelompok waris. Dalam system waris mayorat ahli waris terbagi menjadi dua,
 yang pertama mayorat pria atau laki – laki tertua / sulung pada saat pewaris
 meninggal merupakan ahli waris utama, kedua yaitu mayorat wanita adalah anak
 perempuan tertua pada waktu pemilik harta warisan meninggal adalah menjadi
 ahli waris utama. Dalam system waris individual, ahli waris secara perorangan
 mewarisi harta peninggalan. System waris individual cenderung ditemukan pada
 masyarakat parental, dimana terdapat hak dan kewajiban yang sama pada anak
 perempuan dan anak laki – laki terhadap harta peninggalan. Hak waris yang sama
 tersebut mengandung pengertian hak untuk diperlukan sama oleh orang tuanya
 dalam proses meneruskan hata benda keluarga.
Mengingat
 perkembangan masyarakat Indonesia dalam perkembangannya menuju ke arah
 persamaan kedudukan anatara perempuan dan laki – laki serta pengakuan anak
 perempuan sebagai ahli waris, maka diperlukan hukum yang bersifat parental
 agar me\mberikan kedudukan sederajat antara perempuan dan laki – laki.
B.     RUMUSAN
 MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan
 diatas, rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah
 pembagian  hak waris laki – laki dan
 perempuan dalam system KUH Perdata, system hukum adat dan sistem hukum Islam yang
 berlaku di Indonesia ?
2.      Bagaimanakah
 perkembangan hak waris laki – laki dan perempuan dalam yurisprudensi yang
 berlaku di Indonesia ?
C.     TUJUAN
 PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan
 diatas, tujuan penelitian ini adalah :
1.      Untuk
 mengetahui bagaimana pembagian hak waris laki – laki dan perempuan dalam system
 KUH Perdata, system hukum adat dan sistem hukum Islam yang berlaku di
 Indonesia.
2.      Untuk
 mengetahui bagaimana perkembangan hak waris laki – laki dan perempuan dalam
 yurisprudensi yang berlaku di Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.    HUKUM
WARIS DALAM SISTEM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Penempatan hukum waris dalam KUHPerdata terdapat
pada Pasal 528 dan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Didalamnya subjek hukum waris terbagi 2 (dua) yaitu : Perwaris, adalah orang
yang meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta. Ahli
waris, yakni mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka, hal ini
berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan. Dengan kata lain
hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Dalam
hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka
seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli
warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Prancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif” sedangkan
pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris
dinamakan “saisine”.[1]
B.     HUKUM
WARIS DALAM SISTEM HUKUM ADAT
Menurut
Bertrand Ter Haar, Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan
kekayaan materil dan immaterial dari turunan ke turunan.
Menurut Soepomo, Hukum waris adat
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari
suatu angkatan manusia kepada keturunannya. [2]
Proses pewarisan menurut hukum waris
adat, dikala pewaris masih hidup dapat berjalan dengan cara penerusan atau
pengalihan, penunjukan atau dengan cara berpesan, berwasiat, beramanat. Ketika
pewaris telah wafat berlaku penguasaan yang dilakukan oleh anak tertentu, oleh
anggota keluarga atau kepala kerabat, sedangkan cara pembagian dapat berlaku
pembagian ditangguhkan. Hukum waris adat tidak mengenal cara pembagian dengan
perhitungan matematika, tetapi didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud
benda dan kebutuhan waris bersangkutan.
C.     HUKUM
WARIS DALAM SISTEM HUKUM ISLAM
Hukum waris Islam adalah hukum yang
mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas
harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.[3]
Didalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 (a) menyatakan bahwa hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
BAB III
HAK WARIS ANAK
LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN
A.    HAK
WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN MENURUT BW
Besaran bagian para ahli waris
berdasarkan KUHPerdata, dalam hal ini mengenai besaran ahli waris laki-laki
dengan ahli waris perempuan, memiliki bagian sama antara anak laki-aki dengan
anak perempuan sesuai dengan ketentuan Pasal 852 ayat (1) KUHPerdata yang
menjelaskan sebagai berikut:
“Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar
dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun, mewaris dari kedua orang tua,
kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus
ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan
berdasarkan kelahiran lebih dulu.”
Hukum waris Barat (KUHPerdata)
mengenal prinsip legitime portie (bagian mutlak) sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 913 KUHPerdata yang menentukan bahwa:
“Legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.”
“Legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.”
Prinsip legitime portie menentukan
bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat
dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris. 
1.     
Pasal 914 KUHPerdata
mengatur  ahli waris yang mempunyai
Legitieme Portie anak sah. Dalam hal ini, bagian mutlak bagi para ahli waris
adalah tiga perempat dari harta warisan. Hal ini sesuai dengan Pasal 914 ayat
(3) KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:
“Tiga orang atau lebih pun anak yang ditinggalkannya, maka tiga perempatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisinya, dalam perwarisan.”Apabila pewaris hanya meninggalkan 1 (satu) orang anak sah dalam garis kebawah, maka legitieme portie itu terdiri dari 1/2 (seperdua) dari harta peninggalan yang akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian. Jika yang meninggal meninggalkan 2 (dua) orang anak, maka legitieme portie untuk tiap-tiap anak yakni 2/3 (duapertiga) bagian dari apa yang akan diterima setiap anak pada pewarisan karena kematian. Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan 3 (tiga) orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu 3/4 (tigaperempat) bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian. Sebutan anak-anak dimaksudkan juga untuk keturunan-keturunan mereka dalam derajat seberapa pun, akan tetapi mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak yang mereka wakili dalam mewarisi warisan si pewaris.
“Tiga orang atau lebih pun anak yang ditinggalkannya, maka tiga perempatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisinya, dalam perwarisan.”Apabila pewaris hanya meninggalkan 1 (satu) orang anak sah dalam garis kebawah, maka legitieme portie itu terdiri dari 1/2 (seperdua) dari harta peninggalan yang akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian. Jika yang meninggal meninggalkan 2 (dua) orang anak, maka legitieme portie untuk tiap-tiap anak yakni 2/3 (duapertiga) bagian dari apa yang akan diterima setiap anak pada pewarisan karena kematian. Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan 3 (tiga) orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu 3/4 (tigaperempat) bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian. Sebutan anak-anak dimaksudkan juga untuk keturunan-keturunan mereka dalam derajat seberapa pun, akan tetapi mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak yang mereka wakili dalam mewarisi warisan si pewaris.
2.     
Pasal 915 KUHPerdata, Legitieme
Portie orangtua.
Pada garis ke atas
legitieme portie selalu sebesar separuh dari apa yang menurut undang-undang
menjadi bagian tiap-tiap keluarga sedarah pada pewarisan karena kematian.
3.     
Pasal 916
KUHPerdata, Legitieme Portie anak luar kawin.
Legitieme portie anak
yang lahir di luar perkawinan tetapi telah diakui dengan sah, yakni 1/2
(seperdua) dari bagian yang  diatur oleh undang-undang akan diberikan
kepada anak di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian.
B.     HAK
WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN MENURUT SISTEM HUKUM ADAT
Berdasarkan sistem
patrilineal,matrilineal dan parental.
1.      Sistem
Patrilineal/Kebapakan
Sistem patrilineal merupakan sistem
keturunan yang ditarik dari garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol
pengaruhnya dari kedudukan wanita didalam pewarisan. 
Yang
menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin
masuk menjadi anggota keluarga suami Patrilineal terdapat di daerah adat orang
Batak, Bali dan Ambon.
CIRI-CIRI:
a.       Kesatuan
kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas ketunggalan silsilah pancar
laki-laki (kebapakan).
b.      Anggota dan
penerus silsilah adalah anak laki-laki
c.       Anak perempuan
akan pergi meningalkan marganya
d.      Kehidupan
masyarakatnya ditopang oleh harta pusaka 
e.       Pada awalnya
tidak ada harta pencarian atau harta bersama, baru kemudian berkembang harta
pencarian yang menjadi embrio harta bersama
f.       Harta tersebut
kepemilikannya individual dan terlepas dari harta pusaka, dan akhirnya dapat
diwaris oleh anak perempuan 
Putusan
MA No.179/K/Sip/1961
Anak
perempuan dan laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak terhadap
harta warisan, dengan arti bagian laki-laki dan perempuan adalah sama.
2.      SISTEM
MATRILINEAL/KEIBUAN
S istem Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang
berdasarkan pertalian keturunan melalui keibuan yang menarikgaris keturunannya
dari pihak ibu terus ke atas. Matrilineal terdapat di daerah adat orang
Minangkabau, orang Kerinci dan Semendo.[4]
Yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari garis
perempuan/ibu karena mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya sedangkan
ayahnya masih merupakan anggota keluarga sendiri.
CIRI-CIRI:
- Kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas ketungalan silsilah pancar perempuan (Buah Paruik à buah perut) à Clan chaniago dan piliang (minangkabau)
- Anak-anak perempuan sebagai penerus silsilah kaum ibunya
- Kehidupannya berada dalam sebuah rumah gadang (besar) dengan sistem bilik), dan ditopang oleh harta kaum
- Kemudian berkembang menjadi masayakat minang yang hidup di minang dan di luar minang, dan yang diminang ada yang masih terikat pada rumah gadang dan sudah ada yang hidup dalam rumah-rumah tinggal.
- Kemudian berkembang harta pencarian (“Suarang”) Ã menjadi dasar terbentuknya harta bersama. Anak-anak semula tidak mewaris dari bapak kemudian mewaris dari harta suarang bapaknya.
3.      SISTEM
PARENTAL/KEBAPAK-IBUAN
Sistem Parental adalah sistem kekerabatan yang
berdasarkan pertalian keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis
keturunanya melalui pihak ayah dan ibu ke atas. Terdapat di daeah adat Aceh,
Jawa, Dayak dan Kaili. [5]
Yang
menjadi ahli waris adalah anak laki dan perempuan dengan kedudukan yangg sama
dan sejajar.
CIRI-CIRI:
- Kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas ketunggalan silsilah bapak dan ibu.
- Seorang individu selalu memiliki 2 silsilah, dari bapaknya dan dari ibunya.
- Anak-anak selalu menjadi penerus silsilah bapak dan ibunya
- Suami dan istri berkedudukan seimbang, sehingga masing-masing memiliki kecakapan bertindak dan memiliki hak kepemilikan
- Anak-anak selalu menjadi ahli waris terhadap harta peninggalan bapak dan ibunya.
Pemerintah
mengarahkan pada sistem waris Parental dengan mengeluarkan:
1.      Tap MPRS II Tahun 1960 Paragrah 402
C sub 4
Semua warisan untuk anak-anak dan
janda, apabila yang meninggal meninggalkan anak dan isteri.
2.      Seminar-seminar Nasional Hukum Adat
a.       Seminar Nasional Tahun 1963
Hakim membimbing hukum tidak tertulis melalui yurisprudensi
kea rah keseragaman hukum yang seluas-luasnya dan dalam bidang hukunm keluarga
kea rah system parental
b.      Seminar Hukum Adat Tahun 1975
Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan warisan lebih dikembangkan
kea rah hukum yang bilateral/parental yang memberi kedudukan yang sederajat.
3.      UU Perkara_Pasal 31
Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam berkeluarga dan bermasyarakat.
Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
4.      Putusan MA atau Yurisprudensi
Hak anak laki-laki sama dengan hak
anak perempuan.
MA melihat rasa kemanusiaan dan
keadilan umum.
Pada umumnya di Indonesia apabila pewaris wafat meninggalkan
istri dan anak-anak, maka harta warisan, terutama harta bersama suami istri
yang didapat sebagai harta pencaharian selama perkawinan dapat dikuasai oleh
janda almarhum pewaris untuk kepentingan berkelanjutan hidup anak-anak dan      janda   yang    ditinggalkan.
Pada intinya, dalam sistem patrilineal, matrilineal, dan
parental hampir sama, yaitu janda bisa menjadi penguasa harta warisan suaminya
yang telah wafat. Disini janda memang bukan merupakan ahli waris, karna sudah
ada pembagian yang sudah diatur dalam sistem tersebut. Janda hanya memiliki hak
untuk menguasai dan menikmati harta warisan selama hidupnya. Akan tetapi,
apabila janda tersebut sudah tua dan anak-anaknya sudah dewasa dan sudah
berumah tangga, maka harta tersebut akan dialihkan kepada anak-anaknya.
Hukum
waris adat tidak mengenal azas Legitieme Portie, maka pembagiannya adalah:
a.       Dalam Sistem Patrilineal: 
Istri sebagai pewaris:         tidak    ada      ahli      waris. 
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki, tetapi
pada daerah tertentu yang ahli warisnya adalah anak tertua 
b.      Dalam Sistem Matrilineal
Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak perempuan
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya saudara perempuan suami
c.       Dalam Sistem Parental 
Istri sebagai pewaris: ahli warisnya
anak laki-laki dan anak perempuan
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak perempuan
Pengkhususan
Untuk daerah Gresik, Madura, Tuban apabila yang menjadi pewaris istri atau suami, maka ahli warisnya anak laki-laki : anak perempuan = 2:1
Untuk daerah Sidoarjo dan Malang, ahli warisnya anak laki-laki : anak perempuan = 1:1
Untuk daerah Jawa apabila yang menjadi pewaris suami, maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, dan apabila yang menjadi ahli waris istri, maka yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan.
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak perempuan
Pengkhususan
Untuk daerah Gresik, Madura, Tuban apabila yang menjadi pewaris istri atau suami, maka ahli warisnya anak laki-laki : anak perempuan = 2:1
Untuk daerah Sidoarjo dan Malang, ahli warisnya anak laki-laki : anak perempuan = 1:1
Untuk daerah Jawa apabila yang menjadi pewaris suami, maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, dan apabila yang menjadi ahli waris istri, maka yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan.
C.     HAK
WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN MENURUT SISTEM HUKUM ISLAM
Dalam
surat An-Nisa’ ayat 11-12 disebutkan mengenai Hukum Waris Islam antara lain
sebagai  suatu hukum yang mengatur
pembagian harta peninggalan seseorang yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka untuk] anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya [saja], maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
[Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. [Tentang] orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat [banyak]
manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (11) Dan bagimu [suami-suami] seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau [dan]
sesudah dibayar hutangnya. 
Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu
saja atau seorang saudara perempuan seibu saja maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat kepada ahli waris . Allah menetapkan yang demikian itu sebagai
syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun”(12)
Dalam hukum waris Islam, pada
prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan.
Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan sebagai berikut : “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat
separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki,
maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”
Namun
demikian, sesuai dengan Pasal 201 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:
“Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris lainnya ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.”
“Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris lainnya ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.”
Terhadap setiap pemberian atau penghibahan yang
mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam pewarisan, dapat dilakukan pengurangan
hanya berdasarkan tuntutan dari ahli waris ataupun pengganti mereka.
D.    HAK
WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN MENURUT YURISPRUDENSI DAN
PERKEMBANGANNYA
1.     
Yurisprudensi  Yang 
Menunjukkan Anak Laki-Laki Mendapatkan Bagian Waris Lebih Besar Dari Anak
Perempuan
Terdapat
beberapa yurisprudensi yang mengabulkan atau menyetujui bahwa dalam keadaan
atau kondisis masyarakat tertentu dapat dibedakan kedudukan antara anak
laki-laki dan anak perempuan, diantaranya :
a.     
Putusan
Mahkamah Agung No. 24 K/Sip/1953 tanggal 14 April 1956 [6]
Hukum
Adat daerah Praya, Lombok
Pembagian
warisan antara janda, anak laki-laki dan anak perempuan
Menurut Hukum Adat
Sasak di Lombok, dalam hal seorang meninggal dengan meninggalkan seorang janda,
tiga anak laki-laki dan enam anak perempuan; 
Janda tersebut berhak
atas sepertiga bagian dari barang gono-gini ditambah seperdelapan dari sisanya.
Sisanya dibagi antara anak-anak dengan imbangan anak laki-laki mendapat dua
kali anak perempuan.
b.     
Putusan
Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958 [7]
Hukum
Adat di daerah Negara
Menurut hukum adat
Bali, yang berhak mewarisi hanyalah keturunan pria dari pihak keluarga pria dan
anak angkat lelaki.
Duduk
perkara:
I
Gendra cs. Menggugat Pan Gari cs. Dimuka Pengadilan Kerta di Negara pada
pokoknya ats dalil, bahwa sawah sengketa adalah asal pusaka mendiang Pan
Sarning, yang ditandukan kepada para tergugat, akan tetapi setelah San Parning
meninggal dunia, sawah itu dipertahankan oleh para tergugat, maka oleh karena
demikian para penggugat menuntut supaya para tergugat dihukum untuk
mengembalikan sawah tersebut kepada para penggugat.
Pengadilan
Kerta di Negara dengan putusannya tanggal 28 Juni 1951 No. 8/Sipil/1951
mengabulkan gugatan penggugat I Gendra cs. dan menghukum tergugat Pan Gari cs.
untuk menyerahkan kepada penggugat satu sikut sawah yang menjadi sengketa
beserta separo hasil sawah itu dalam tahun 1951.
Putusan
tersebut dalam tingkat banding wajib, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Makassar
(Ujungpandang) tanggal 30 Desember 1957 No. 19/1953 P.S./Pdt.
Dalam
tingkat kasasi, diajukan sebagai keberatan-keberatan a.l.:
c.       Jawaban
penggugat kasasi pada waktu mereka diperiksa dimuka siding Pengadilan Kerta
bahwa mereka menandu sawah adalah keliru. Sebenarnya, mereka mempertahankan
sawah itu, karena mereka merasa berhak mewarisi sawah tersebut karena datuk
mereka Men Sardji dan Men Mukti bersaudara kandung kepada mendiang Paan
Sarning. Pan Sarning yang meninggal tanpa memiliki anak kandung tetapi mempunyai
keponakan dari saudaranya yakni Men Sardji dan Men Mukti maka mereka sama-sama
berhak menerima barang-barang warisan mendiang Pan Sarning. Dengan kata lain,
barang-barang warisan Pan Sarning harus dibagi dua antara mereka dan I Gendra
cs.
d.      Menurut
hukum adat Bali pun, kalau orang yang meninggal (ceput) tidak mempunyai
ahliwaris dari keturunan lelaki, barang warisannya harus diwarisi oleh anak
perempuannya yang paling rapat, sehingga tanah-tanah warisan mendiang Pan
Sarning separonya atau setidak-tidaknya sawah cidra ditetapkan menjadi milik
para penggugat untuk kasasi merupakan hal yang tepat.
Keberatan-keberatan
tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, dengan pertimbangan-pertimbangan:
Mengenai
keberatan sub.a:
Bahwa
keberatan ini tidak dapat dibenarkan oleh karena baru dalam tingkat kasasi,
para penggugat untuk kasasi mengajukan keberatan ini dengan mandalilkan, bahwa
mereka berhak untuk mewarisi sawah sengketa, jadi keberatan itu merupakan suatu
persoalan yang baru (novum), hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan tingkat kasasi;
Mengenai
keberatan sub.b:
Bahwa
keberatan ini pula tidak dapat dibenarkan, oleh karena menurut hukum adat Bali
yang berhak mewarisi sebagai ahliwaris ialah hanya keturunan pria dari pihak
keluarga dan anak angkat lelaki, sehingga Men Sardji sebagai saudara kandung
perempuan bukan ahliwaris dari mendiang Pan Sarning.
Perkembangan hak waris anak laki-laki dan
anak perempuan menurut hukum Adat Bali
Menurut I Ketut Sudantra, dosen Hukum Adat pada
Fakultas Hukum Universitas Udayana (“Unud”), dalam artikel berjudul Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi
Perempuan, hukum
adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak
laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya
mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua atau harta
peninggalan suami (sumber: Balisruti, Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1
Januari-Maret 2011).
Hal di atas juga tercermin dalam putusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958, yang
antara lain menyatakan:
“Menurut hukum Adat
Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan
anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai
saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning.” 
Namun, “angin segar” bagi kaum perempuan
Bali dalam hal pewarisan bertiup beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2010. Angin
segar tersebut berupa dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama
Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15
Oktober 2010, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MUDP Bali (“Keputusan Pasamuhan Agung III/2010”) .
Dalam Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 diputuskan mengenai
kedudukan suami-istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya,
termasuk hak waris anak perempuan (anak kandung maupun anak angkat).
Secara singkat, hak waris anak perempuan
menurut Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 adalah sebagaimana dijelaskan oleh
pakar hukum adat FH Unud Prof. Dr. Wayan P.
Windia, S.H., M.Si. sebagai berikut:
“Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan
Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15
Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali
menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka
dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum
wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris. Jika
orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal
sukarela.”
c.       Putusan MA RI no.86
K/AG/1994 tanggal 27 Juli 1995
Bahwa selama
masih ada anak laki-laki maupun anak perempuan maka hak waris bagi orang-orang
yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan istri
menjadi tertutup (terhijab).
Serta,
Putusan MA RI
nomor 184 K/AG/1995 tanggal 30 September 1996
Dalam putusan
tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya anak perempuan dari pewaris, maka
saudara-saudara kandung pewaris asal I tertutup oleh tergugat, oleh karenanya
penggugat-penggugat asal tidak berhak atas harta warisan.
Dalam
perkembangannya, saudara-saudara kandung dari tergugat (anak kandung perempuan
dari pewaris), merasa bahwa mereka berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh
pewaris. Dan dengan adanya yurisprudensi ini, telah kembali ditegaskan bahwa
kedudukan anak kandung tersebut akan mengakibatkan tertutup atau terhijabnya
penggugat-penggugat atas warisan tersebut.
Dari kedua
putusan tersebut terlihat bahwa didalamnya menyangkut penguatan terhadap
kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris yang sah dari pewaris yakni
orangtuanya, dengan tidak adanya anak laki-laki bukan berarti akan
mengesampingkan hak anak perempuan sebagai ahli waris yang sah. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam kaidah hukum baik sistem BW maupun Hukum Islam, dan anak  merupakan golongan pertama yang berhak atas
warisan tersebut.
d.      Putusan MA no.778
K/Pdt/1996 tanggal 31 Juli 1996
Bahwa dalam
suatu kepemilikan tanah secara adat di daerah batang, orangtua dapat
mengatasnamakan tanah pada anak lelaki tertuanya, dimana kepemilikan tersebut
harus dibuktikan dengan adanya surat-surat bukti dan keterangan saksi.
Putusan
tersebut menyangkut pada kaidah hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, yang
dalam penerapannya dapat menimbulkan lebih tingginya kedudukan anak laki-laki
daripada anak perempuan seperti dalam kondisi tersebut. Sehingga menunjukkan
bahwa kaidah hukum adat masih digunakan masyarakat sebagai salah satu sumber
hukum utama dalam masyarakat adat di Indonesia.
e.       Putusan MA RI no.350
K/AG/1994 tanggal 28 Mei 1997
Bahwa dalam
pembagian harta warisan menurut hukum islam, maka harta warisan tersebut harus
dibagi diantara para ahli warisnya dengan perbandingan 2 bagian bagi anak
laki-laki dan satu bagian bagi anak perempuan.
2.                 
Yurisprudensi
Yang Menunjukkan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mendapatkam Bagian Waris
Yang Sama
a.      Putusan MA RI no.179
K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961
Menyatakan
persamaan hak anak laki-laki dan anak perempuan yang mengakibatkan perubahan
dalam hukum waris adat Batak Karo. Yang pada mulanya masyarakat adat tersebut
memang membedakan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan yakni, dengan
mengutamakan anak laki-laki sebagai ahli waris.
Terkhusus pada
yurisprudensi ini telah mendapat banyak sorotan karena menimbulkan pro dan
kontra di kalangan masyarakat adat Batak Karo itu sendiri, terlebih oleh kaum
laki-laki yang merasa telah dilanggar haknya. 
Ini menunjukkan
adanya perkembangan dalam kondisi masyarakat yang terkadang dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat, yakni
hukum adat. Karena sejatinya putusan atau yurisprudensi tersebut memiliki
kekuatan hukum yang mau tidak mau harus diterima oleh masyarakatnya, meski
hukum nasional juga memberikan 
kelonggaran atau suatu ruang bagi masyarakat adat itu sendiri untuk
berkembang sesuai dengan dinamika sosial yang ada.
b.     
Putusan
Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 [8]
Anak perempuan dan anak
lelaki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam
arti, bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan.
Duduk
perkara:
Langtewas
Sitepu dan Ngadu Sitepu menggugat Benih Ginting, anak kandung dari mendiang
Rumbane boru Sitepu di muka Pengadilan Negeri Kabanjahe pada pokoknya atas
dalil, bahwa tanah sengketa bernama “Juma Pasar” adalah tanah pusaka berasal
dari Rolak Sitepu; bahwa oleh karena Rolak Sitepu tidak memiliki anak lelaki
dan setelah Rolak Sitepu meninggal dunia, maka menurut hukum adat Karo, tanah
itu harus diwarisi oleh para penggugat sebagai anak-anak lelaki dari saudara
kandung almarhum Rolak Sitepu; bahwa menurut putusan Balai Kerapatan (Raja
Berempat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929 No.69 anak-anak perempuan dari
almarhum Rolak Sitepu tersebut hanya ada hak untuk memakai tanah itu selama
mereka hidup; bahwa setelah Rumbane yakni salah satu anak perempuan dari Rolak
Sitepu meninggal dunia lalu tanah itu dikuasai oleh tergugat yakni anak lelaki
dari almarhum Rumbane tersebut; bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut para
penggugat menuntut supaya Pengadilan Negeri Kabanjahe member putusan:
1.      Mengakui
di dalam hukum, bahwa lading perkara berasal dari pusaka mendiang Rolak Sitepu
yang menurut adat Indonesia Karo diwarisi oleh para penggugat, sebab mendiang
Rolak Sitepu adalah saudara kandung dari Tindik Sitepu (ayah kandung para
penggugat), karena Rolak Sitepu telah mati masap (tidak ada keturunan anak
laki-laki) selain dari kedua penggugat;
2.      Menentukan
di dalam hukum untuk menyudahi/memutuskan pemakaian tergugat atas lading
sengketa dan menyerahkannya kepada para penggugat.
Pengadilan
Negeri Kabanjahe dalam putusannya tanggal 8 September 1958 No. 3/S/1957
mengabulkan gugatan dan menghukum tergugat untuk menyerahkan lading “Jumpa
Pasar” kepada para penggugat.
Pengadilan
Tinggi Medan, dalam tingkat banding, dengan putusannya tanggal 29 Desember 1959
No. 204/1959 membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan dalam mengadili kembali
menolak gugatan para penggugat.
Keberatan-keberatan
yang diajukan dalam tingkat kasasi adalah pada pokoknya: 
“bahwa
menurut hukum adat Karo anak perempuan (dimaksudkan Rumbane, yaitu ibu
tergugat) adalah bukan ahli waris dari ayahnya, dan bahwa para penggugat kasasi
menurut hukum adat Karo adalah ahliwaris dari Rolak Sitepu dan berhak atas
tanah sengketa setelah Rolak Sitepu meninggal dunia.”
Keberatan-keberatan
tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:
“bahwa
keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan bahwa di tanah Karo
masih tetap berlaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak perempuan tidak berhak
sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya”;
bahwa
Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa perikemanusiaan dan keadilan umum juga
atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa putusan
mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia,
bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan,
bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak lelaki
adalah sama dengan anak perempuan;
bahwa
berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di tanah
Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahliwaris yang berhak
menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya;
bahwa
oleh karena demikian, keberatan-keberatan para penggugat untuk kasasi tidak
dapat dibenarkan dan putusan Pengadilan Tinggi Medan, meskipun berdasarkan
alasan-alasan lain, harus dipertahankan.”
Putusan
Mahkamah Agung ini mendapat sambutan hangat dari kaum wanita Tapanuli dan dapat
dianggap sebagai suatu tonggak bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak
antara kaum wanita dan kaum pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah
membentuk hukum yurisprudensi baru dalam soal warisan di Tapanuli. 
c.      
Putusan
Mahkamah Agung No. 415 K/Sip/1970 tanggal 30 Juni 1971 [9]
Hukum
adat di daerah Padangsidempuan
Kedudukan
anak (laki-laki dan perempuan) terhadap warisan orang tua
Di daerah Tapanuli
“pemberian dan penyerahan” kepada seorang anak perempuan merupakan
“serah-lepas” dengan maksud memperlunak hukum adat setempat di masa sebelum
Perang Dunia II yang tidak mengakui hak mewaris bagi anak perempuan.
Hukum Adat di daerah
Tapanuli kini telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak
perempuan dan anak laki-laki. 
d.      Putusan MA RI No.2563
K/Pdt/1988 tanggal 15 Maret 1990
Menyatakan
bahwa hak waris anak dari istri pertama atas harta bagian bapaknya yang
diperoleh dalam perkawinannya yang ketiga. Anak dari istri pertama berhak mewarisi
harta bagian bapaknya yang diperoleh dalam perkawinannya yang ketiga
bersama-sama dengan anak dari istri ketiga yaitu masing-masing mendapat separoh
dari separoh karena anak almarhum hanya dua orang, yaitu penggugat dan
tergugat.
Meski keputusan
tersebut tidak terkait dengan kedudukan anak laki-laki dan perempuan sebagai
ahli waris, melainkan lebih menjelaskan kedudukan anak sebagai anak kandung
dari orangtuanya yakni pewaris. Yang menunjukkan bahwa terlepas dari apaka ahli
waris yakni anaknya tersebut apakah leki-laki maupan perempuan, dalam
yurisprudensi tersebut telah menguatkan kembali posisi penggugat sebagai anak
kandung dari pewaris baik laki-laki maupun perempuan, namun jika dihadapkan
pada kondisi yang sama dengan yang ada pada saat tersebut, maka kedudukan anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Sehingga
putusan tersebut dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam menghadapi kasus
yang sama.
e.       Putusan MA No.410
K/Pdt/1995 tanggal 26 Agustus 1996
‘Warisan yang
berasal dari harta gono-gini haruslah dibagi secara adil kepada semua ahli
warisnya’
Putusan
tersebut juga dapat mengakibatkan samanya kedudukan anak laki-laki maupun
perempuan dalam haknya atas harta gono-gini orangtuanya sebagai pewaris.
f.                  
Putusan MA no.30 K/Pdt/1995 tanggal 9 Februari 1998
Amar putusan
Pengadilan Tinggi Bandung yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Karawang
kurang lengkap/tepat sehingga memerlukan pertimbangan , yaitu pada amar putusan
Pengadilan Tinggi Bandung poin 5 ; bahwa bagian masing-masing ahli waris
laki-laki dan perempuan ditentukan sama disesuaikan dengan tingkat
keahliwarisan masing-masing dari almarhum Mungkur bin Jamilin.
g.     
Putusan Mahkamah Agung 
No. 410 K/Pdt/1995 tanggal 26 Agustus 1996 .
Warisan yang berasal dari harta
gono-gini haruslah dibagi secara adil kepada semua ahli warisnya.
BAB
IV
PENUTUP
KESIMPULAN
A.            
Pembagian hak waris
bagi anak laki-laki dan perempuan menurut KUHPerdata,Hukum Islam dan Hukum Adat
memiliki sistem yang berbeda-beda. Berdasarkan KUHPerdata, pembagian waris
menggunakan prinsip legitime portie (bagian mutlak) sebagaimana yang diatur
dalam pasal 913 dimana Prinsip legitime portie menentukan bahwa ahli waris
memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun
melalui surat wasiat si pewaris. Dalam hal ini, bagian mutlak bagi para ahli
waris adalah tiga perempat dari harta warisan. 
Dalam
hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki lebih
besar dari anak perempuan. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat
separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki,
maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Namun
demikian, apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli
waris lainnya ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan
sampai batas sepertiga harta warisan.
Dalam
menentukan bagian-bagian tiap ahli waris, hukum waris adat mendasarkan pada
kebiasaan dalam bidang kewarisan yang terjadi di masyarakat. Hal ini berarti
tiap daerah memiliki cara kebiasaan yang berbeda untuk menentukan besaran
bagian warisan masing-masing dari ahli waris. Sebagai contoh, pembagian
besarnya warisan di daerah Sumatera Barat, hak (bagian) warisan dari anak
perempuan lebih besar dari bagian warisan dari anak laki-laki, akan tetapi hal
tersebut berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di daerah Sumatera Utara, yang
memberikan hak dalam warisan lebih besar kepada anak laki-laki jika
dibandingkan dengan bagian anak perempuan.
B.                
Yurisprudensi
yang merupakan perkembangan hukum yang ada kaitannya dengan perubahan social.
Yurisprudensi ini dapat menegaskan mengenai pembagian hak laki-laki dan
perempuan sesuai adat mereka seperti yang terjadi di Praya, Lombok dengan
keluarnya Putusan Mahkamah Agung No. 24 K/Sip/1953
tanggal 14 April 1956  dan Putusan Mahkamah
Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958 di Bali. 
Selain itu yurisprudensi juga dapat menyetarakan hak
antara laki-laki dan perempuan atau setidaknya memberikan perempuan hak-hak
mereka. Seperti  Putusan Mahkamah Agung
tanggal 1 November 1961 No. 179 K/Sip/1961 yang berbunyi : Mahkamah Agung
menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia bahwa anak perempuan
dan anak laki – laki dari seorang pewaris bersama – sama berhak atas harta
warisan, dalam arti bagian anak laki – laki adalah sama dengan anak perempuan.
Dengan adanya yurisprudensi tersebut dikemudian
hari, bila terjadi sengketa warisan, pihak yang merasa dirugikan, terutama
pihak perempuan, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri, dan
penyelesaiannya oleh hakim dapat merujuk pada yurisprudensi ini, yaitu
pembagian hak waris yang sama terhadap anak laki – laki dan perempuan. 
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku :
Achmad Samsudin,dkk., Yurisprudensi Hukum Waris: Seri Hukum Adat II. Alumni:Bandung. 1983.
 hlm.335 dan710 
Sjaripuddin,Amir. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau.
Jakarta: Gunung Agung. 1984. hlm.182
Subekti,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa:
Jakarta, 1985, hlm.95-96.
----------, Hukum
Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung. Alumni:Bandung. 1991. hlm.7-8
; 15-17
----------, Kitab
undang-undang hukum perdata cetakan ketigapuluh empat. PT Pradanya
Paramita:Jakarta. 2004
Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap
Hukum Waris. Bandung: Alumni. 1993. hlm. 48.
Daud
Ali,Mohammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama edisi 1 cetakan kedua.PT
Raja Grafindo Persada:Jakarta. 2002.hlm 120
Ali,
Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris Di
Indonesia.  Sinar Grafika:Jakarta.
2008. Hlm.1
Kompilasi hukum
Islam
Sumber internet :
[1] Subekti, Pokok-Pokok Hukum
Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hlm.95-96.
[2] Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia.  Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Hal.1
[3] Mohammad Daud Ali,Hukum Islam dan Peradilan Agama,(Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,2002)edisi 1,cet kedua,hal 120
[4] Sjaripuddin, Amir. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam
Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung. 1984. Hal.182
[5] Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris.
Bandung: Alumni. 1993. Hal. 48.
[6] Achmad Samsudin,dkk., Yurisprudensi
Hukum Waris: Seri Hukum Adat II, Alumni,Bandung,1983, hlm.710
[7] Subekti, Hukum Adat Indonesia
dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1991, hlm.7-8
[8] Ibid,hlm.15-17
[9] Achmad Samsudin, op.cit,
hlm.335
 
informasi yang bermanfaat, terima kasih... untuk hak waris anak diluar kawin, berikut info tambahannya:
BalasHapushttp://www.legalakses.com/anak-luar-nikah-masih-punya-hubungan-perdata-dengan-ayah-biologisnya/